Asal Mula Istilah Pacaran, Ternyata Dahulu Bukan Maksiat Tapi...
Thursday, March 9, 2017
Tidak sepeti sekarang asal-muasal istilah "pacaran" itu sebenarnya positif dan sesuai syar'i serta bukan sebuah maksiat.
Budaya pacaran awalnya terdapat pada budaya Melayu. Jadi ketika seorang perjaka ingin menikahi seorang gadis. Biasanya sang pemuda mengirimkan ‘sinyal’ tertariknya dengan mengirim ‘tim’ pembaca pantun untuk sang gadis pujaannya, nah, tim tadi akan berpantun tepat di depan halaman rumah sang gadis.
Apabila pantun tersebut disambut oleh keluarga gaids, maka selanjutnya kedua orang tua gadis maupun pria akan memakaikan pacar (Inai) ketangan pemuda dan gadis tersebut. Setelah di pakaikanya pacar ditangan keduanya, pemuda dan gadis tersebut sudahlah bisa dibilang memiliki hubungan/ sudah dipinang. Gadis tersebut kemudian dipinggit didalam rumah untuk dikursuskan oleh ibunya selama 40 hari untuk mempelajari ilmu berumah tangga.
Namun hubunganya ini hanyalah tahap awal, umur pacar (Inai) yang dipasangkan ditangan kedua pasangan tersebut, pada umumnya berumur sekitar tiga bulan. Ketika pacar tersebut luntur, sang pemuda diharuskan menemui pihak keluarga gadis untuk membicarakan hubungan selanjutnya. Apabila sang pria tidak kunjung datang ketika pacar tersebut sudah luntur, sang gadis berhak untuk memutuskan hubungan dengan pria tersebut. Dan apabila pemuda itu datang pada waktunya maka selanjutnya masuk tahap lamaran dan persiapan pernikahan.
Jadi asal-usul pacar itu bermula dari tradisi memacari jari jemari gadis sebagai tanda sudah dipinang. Dan kemudian dipinggit didalam rumah untuk dikursuskan mempelajari ilmu berumah tangga selama 40 hari. Dan sejak pingiran bahkan sebelum pinangan tersebut mereka tidak pernah melakukan "pacaran" seperti istilah dewasa ini.
Namun berbeda dengan istilah pacaran dewasa ini yang sudah sangat jauh dengan tradisi melayu itu.
Dari intisari ceramah Ust. Adi Hidayat, Lc. MA dan tulisan Aditia Khadafi di Kompasiana