Substansi Pendidikan Kewarganegaraan
Thursday, October 12, 2017
A. Paradigma PKn pada era Reformasi
Menjelang usianya yang ke 71, Bangsa Indonesia sudah semakin bertambah dewasa. Seiring dengan itu, bangsa Indonesia menjadi semakin bijak, semakin transparan, terbuka dan kebijakan-kebijakan yang disusun serta dilaksanakan semakin dapat dipertanggung jawabkan. Sektor pendidikan sebagai salah satu aspek dalam kehidupan nasional harus menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi. Khususnya pendidikan kewarganegaraan sebagai salah satu mata pelajaran wajib yang ada di persekolahan perlu menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang sedang dan terus berubah. Proses pembangunan karakter (nation and character building) yang telah dicanangkan sejak awal negara Indonesia berdiri perlu direvitalisasi agar sesuai dengan arah dan pesan konstitusi negara RI.
Di era global seperti sekarang ini isu-isu yang berkembang dan menjadi tuntutan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah : demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Lingkungan Hidup. Ketiga hal tersebut menjadi tuntutan dan perhatian bagi warganya, maupun dalam melakukan hubungan dengan bangsa-bangsa lain. Terkait dengan ini Winataputra (2009 : 1) mengatakan bahwa konstitusi negara Indonesia (UUD Negara RI tahun 1945) mengharapkan arah pembentukan karakter bangsa ditujukan pada penciptaan masyarakat Indonesia yang menempatkan demokrasi sebagai titik sentral di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itulah, dalam rangka melaksakan dan mengarahkan pemikiran pada pembentukan karakter bangsa yang demokratis cukup mendesak dilakukan.
PKn yang merupakan salah satu mata pelajaran wajib di persekolahan dan dipergunakan sebagai wahana untuk membentuk warga negara yang berkarakter demokratis sebagaimana diharapkan memiliki peran penting dan cukup strategis. Sebagai mata pelajaran nilai, PKn wajib memberikan dan menambah wawasan peserta didik tentang nilai-nilail yang benar yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. PKn wajib melakukan pembinaan serta menumbuh kembangkan sikap-sikap peserta didik ke arah yang diinginkan oleh nilai-nilai Pancasila dan UUD Negara RI tahun 1945. Melalui PKn di persekolahan peserta didik dilatihkan melalui pembiasaan-pembiasaan tentang perilaku dan keterampilan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sesuai pendapat Dardji Darmodiharjo, bahwa PKn sebagai suatu pendidikan yang dilakukan tentang kewarganegaraan, meliputi : mengajar, mendidik dan melatih. Mengajar maksudnya menambah wawasan dan memberikan pengetahuan yang benar tentang kewarganegaraan, mendidik, maksudnya membentuk sikap-sikap yang sesuai dengan nilai dan norma-norma masyarakat, melatih, maksudnya membiasakan peserta didik melakukan perilaku untuk terampil dalam melakukan hubungan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Menurut Winataputra, (2009 : 3) dalam kaitan membentuk peserta didik menjadi warga yang demokratis, PKn memiliki 3 (tiga) tugas pokok , yaitu :
1. Mengembangkan warga negara menjadi warga negara yang cerdas (civic intelligence).
2. Membina warga negara supaya menjadi warga negara yang bertanggung jawab (civic responsibility)
3. Mendorong warga negara supaya mau dan mampu berpartisipasi (civic participation) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
B. Warga Negara Yang Cerdas.
Memiliki warga negara yang cerdas sangat dibutuhkan suatu negara. Setiap bangsa dan negara pasti ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mencapai tujuan serta cita-citanya. Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, suatu bangsa sangat membutuhkan warga negara yang cerdas, tidak terkecuali bagi negara Indonesia. Melalui warga negara yang cerdas tidak saja akan dapat mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia, tetapi melalui warga negara yang cerdas juga akan dapat mengangkat derajat dan martabat bangsa serta menjadikan bangsa ini memiliki nilai kompetitif yang tinggi (competitiveness) dalam melakukan hubungan dengan bangsa-bangsa lain. Oleh karena itulah melalui pendidikan kewarganegaraan yang diberikan di persekolahan diharapkan akan dapat melahirkan tidak saja warga negara yang baik, tertapi juga warga negara yang cerdas.
Kecerdasan warga negara meliputi banyak hal atau meliputi berbagai dimensi, sehingga dalam pelaksanaannya semua kecerdasan tersebut harus dilakukan secara seimbang, tidak hanya dalam dimensi intelektual sebagaimana selama ini seringkali dilakukan. Melalui PKn warga negara diharapkan memiliki kecerdasan yang jamak. Adapun kecerdasan-kecerdasan jamak dimaksud, yang harus dimiliki warga negara Indonesia meliputi : kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ) dan bahkan kecerdasan moral (Moral Qoution) (Nurmalina dan Saifullah: 2008 )
Sekolah tidak boleh hanya mengembangkan kecerdasan intelektual tanpa diikuti pengembangan kecerdasan emosi, spiritual serta moral. Lebih lanjut Nurmalina dan Saifullah megatakan bahwa kecerdasan intelektual harus di dasari (di back-up) oleh kecerdasan emosional, spiritual dan bahkan kecerdasan moral. Jika tidak maka akan dapat terjadi dan “sudah seringkali terjadi” kecerdasan intelektual yang dimiliki seseorang disalah gunakan. Penggunaan kecerdasaan intelektual tanpa dilandasi oleh kecerdasan emosional, spiritual dan moral seringkali bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan norma-norma yang berlaku. Di dalam kehidupan masyarakat seringkali terjadi kecerdasan intelektual dipresentasikan dengan berpikir rasional yang didukung oleh nalar, namun mengabaikan nilai-nilai moral, nilai-nilai agama dan nilai-nilai kemanusiaan. Muara dari semua itu, dapat menggiring manusia menjadi manusia yang sombong, angkuh atau congkak. Menganggap dirinya yang paling benar, dirinya yang paling pintar, dirinya yang paling bisa, sementara orang lain dianggap semuanya bodoh sehingga lebih rendah. Bahkan dengan hanya memiliki kecerdasan intelektual tanpa dilandasi kecerdasan yang lain, manusia manganggap akal atau rasio sebagai sumber utama dan satu-satunya sumber kebenaran.
Kecerdasan emosional (EQ) yang dimiliki seseorang diwujudkan dalam bentuk sikap dan perbuatan menghargai orang lain serta menghormati kepentingan orang lain. Dengan memiliki sikap-sikap seperti itu dapat membimbing dan mengarahkan seseorang menjadi orang yang peka, peduli dan respek kepada sesamanya. Sehingga manusia dapat bersikap toleran, mau menghargai perbedaan-perbedaan yang ada. Sikap-sikap yang mencerminkan kecerdasan emosional tersebut dapat menciptakan suasana yang dapat memperkuat persatuan dan kesatuan. Kecerdasan emosional yang dimiliki seseorang lambat laun akan dapat mencairkan pertentangan-pertentangan potensial yang ada.
Masalah-masalah yang ada dalam kehidupan tidak akan bisa selesai hanya dengan kesabaran atau perasaan sabar (kecerdasan emosional). Adanya inisiatif, kreatifitas serta nalar (kecerdasan intelektual) sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah. Oleh karena itu pengelolaan emosi (“kecerdasan emosional”) juga membutuhkan menggunakan kecerdasan intelektual seperti : nalar, logika maupun bakat. Jika tidak bisa saja terjadi, sesorang hanya berdiam diri tidak melakukan apa-apa (sebagai cermin kecerdasan emosional) ketika menghadapi suatu masalah. Oleh karenanya, antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional saling membutuhkan dan dipadukan secara seimbang. Kecerdasan emosional tanpa didukung oleh kecerdasan intelektual menjadikan orang tidak berbuat apa-apa, sementara kecerdasas intelektual tanpa didasari kecerdasan emosional menyebabkan seseorang menjadi sombong, angkuh, egois. Substansi dari kecerdasan intelektual adalah nalar, sedangkan substansi kecerdasan emosional adalah perasaan atau mood.
Hasil penelitian menunjukan bahwa kecerdasan intelektual hanya menyumbang tidak lebih dari 20% untuk keberhasilan seseorang dalam hidup. Hampir 80% keberhasilan seseorang dalam hidup ditentukan oleh kecerdasan-kecerdasan lainnya, seperti : emosional, spiritual dan sosial. Artinya bahwa seseorang tidak bisa mengharapkan keberhasilan dalam hidupnya hanya dengan mengandalkan kecerdasan Intelektual yang dimiliki. Terlebih dalam era sekarang ini orang sangat perlu memiliki jaringan, sangat butuh akan kehadiran orang lain. Semakin banyak teman, semakin banyak jaringan merupakan modal utama bagi keberhasilan seseorang. Untuk dapat menjalin teman dan menciptakan jaringan, seseorang harus bisa dan mampu mengelola emosi. Seseorang tidak boleh bersikap egois kalau ingin memperoleh teman. Orang yang egois, adalah orang yang hanya mau menangnya sendiri, orang yang mengedepankan kepentingannya sendiri, tidak mau peduli pada kepentingan orang lain. Hanya orang yang pandai dan cerdas mengelola emosinya atau dengan kata lain hanya orang yang memiliki kecerdasan emosional akan disenangi orang lain, karena orang seperti itu pandai menyenangkan hati orang lain, orang yang suka berempati pada orang lain. Dalam kehidupan berlaku hukum resiprositas (timbal balik) sebagai hukum kodrat atau hukum alam yang menimpa setiap individu manusia. Seseorang cenderung akan bersikap baik pada orang yang juga bersikap baik kepadanya, orang akan cenderung bersikap jahat sebagai balasan sikap jahat yang dilakukan orang lain kepadanya, demikian seterusnya.
Berdasarkan hasil penelitian, orang-orang yang kurang melatih keseimbangan kecerdasan emosionalnya akan dapat mengkibatkan hal-hal sebagai berikut, antara lain:
a. Gampang merasa kalut ketika terjadi peristiwa buruk yang menimpanya
b. Kurang dapat melakukan kerjasama (tim work), dan mudah retak atau tidak tahan lama dalam menjalin kerjasama dengan orang lain
c. Kurang dapat mengendalikan diri karena emosi yang mudah meledak-ledak, sehingga gampang kalap
d. Mudah sekali kehilangan motivasi, maupun inspirasi
e. Mudah bertindak melampaui batas (kebablasan) atau sebaliknya yaitu tidak berani bertindak karena terlalu hati-hati yang akhirnya tidak berbuat apa-apa.
Kecerdasan Spiritual (SQ) berkenaan dengan penanaman, pemahaman serta pengamalan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual, sikap dan perbuatannya selalu dipancari nilai-nilai agama yang diyakini yang memiliki kebenaran mutlak. Di dalam pikiran manusia bersemayam suatu titik yang disebut Titik Tuhan (God Spot) atau hati nurani atau kata hati atau ada yang menyebut dengan Insan Qolbu. Titik inilah yang menjadi pilar dari kecerdasan spiritual. Adapula yang menyebutnya dengan kecerdasan hati. Kecedasan Spiritual atau kecerdasan hati dapat diasah atau dilatihkan. Kecerdasan hati dapat menjadi cerdas dengan cara membiasakan dalam setiap menangkap, memahami serta mengamini kebenaran selalu menggunakan hati. Hati yang diberikan oleh Sang Pencitpa Tuhan Yang Maha Esa pada dasarnya baik dan bersih. Suara hati atau Insan Qolbu tersebut selalu mengarahkan orang untuk bersikap dan berbuat baik. Dalam perkembangannya sangat bergantung pada lingkungan di tempat dia dibesarkan. Disinilah dibutuhkan adanya pembiasaan atau dilatihkan.
Orang yang cerdas secara spiritual, adalah orang yang memiliki kelebihan-kelebihan sebagai berikut , antara lain :
a. Kuat tapi tidak keras karena memiliki kelenturan. Orang seperti ini ibarat air pelan namun pasti batu yang demikian kuat sekalipun bisa habis terkikis olehnya.
b. Tahu akan kemampuan diri sendiri, karena selalu mau introspeksi diri, sehingga sadar diri
c. Kualitas hidupnya didasarkan pada visi ke masa depan dan selalu berpedoman pada nilai-nilai kebenaran. Masa lalu merupakan pengalaman yang dipakai sebagai pijakan dalam mejalani kehidupan hari ini, dan kemudian dipakai merancang kehidupan di masa depan. Semua itu didasarkan pada nilai-nilai kebenaran agama yang diyakini.
d. Memiliki kemampuan untuk tidak melakukan hal yang tidak penting. Orang yang memiliki kecerdasan religius tidak pernah membuang-buang waktunya secara percuma. Segala aktivitas yang dikerjakan bermanfaat guna kehidupan hari ini maupun di kemudian hari
e. Memiliki kemampuan untuk menemukan alasan, jawaban dan makna hidup. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual memahami betul apa, mengapa dan bagaimana cara hidup yang benar. Oleh karena itu setiap gerak langkahnya selalu beralasan dan diarahkan untuk menjawab makna hidup yang dipahami.
f. Memiliki kemampuan untuk menolong dan berbuat baik kepada orang lain. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual memiliki kesadaran bahwa semua makhluk yang ada di bumi adalah ciptaanNYA, maka kesadaran ini mendorong dan menjadi alasan seseorang untuk menolong orang lain.
Sementara orang yang tidak memiliki kecerdasan spiritual karena tidak mau mendengarkan suara hatinya, memiliki kekurangan-kekurangan sebagai berikut :
a. Cenderung menjadi fanatisme buta terhadap kebenaran maupun keyakinan karena tidak dicerahkan oleh intelektualnya
b. Orangnya menjadi sadis, brutal dan cenderung melakukan tindakan negative
c. Mudah sekali lepas kontrol dan menyalah gunakan kekuasaan
Apabila menyimak uraian tersebut di atas maka dapat ditarik simpulan bahwa warga Negara yang ingin dibentuk melalu mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan adalah warga Negara yang memiliki multi kecerdasan atau kecerdasan yang utuh. Yakni warga Negara yang memiliki kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual dan kecerdasan moral. Dengan kata lain wrga Negara yang dibentuk adalah warga Negara yang cerdas otak/akalnya, cerdas perasaannya, cerdas hatinya dan cerdas moralnya.
C. Warga Negara Yang Bertanggung Jawab
Sebelum membahas karakterisik warga Negara yang bertanggung jawab, terlebih dulu akan dibahas tentang apa yang dimaksud dengan tanggung jawab. Ridwan Halim (1988) mendefinisikan tanggung jawab sebagai suatu akibat lebih lanjut dari pelaksanaan peranan, baik peranan itu berupa hak, kewajiban maupun kekuasaan. Dengan demikian secara umum tanggung jawab diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berperilaku menurut cara tertentu. Sementara Purbacaraka (1988) mengatakan bahwa tanggung jawab merupakan sesuatu yang lahir atau bersumber pada penggunaan fasilitas dalam penerapan kemampuan tiap orang untuk menggunakan hak dan/atau kewajibannya. Lebih lanjut ditegaskan bahwa setiap pelaksanaan kewajiban dan hak, baik yang dilaksanakan secara memadai maupun tidak memadai pada dasarnya tetap harus disertai dengan pertanggung jawaban. Demikan juga hal di dalam penggunakan kekuasaan.
Dari uraian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tanggung jawab erat kaitannya dengan penggunaan hak dan kewajiban serta kekuasaan. Artinya tanggung jawab melekat dalam hak, kewajiban serta kekuasaan yang dimiliki seseorang. Setiap kali orang melaksanakan hak, melaksanakan kewajiban maupun melaksanakan kekuasaannya akan disertai pula dengan tanggung jawab.
Ada beberapa hal atau aspek yang perlu diperhatikan pada saat seseorang menggunakan haknya, antara lain :
a. Aspek kekuatan yang di dalamnya berisikan tentang kekuasaan dan wewenang. Maksudnya bahwa betapapun besar dan mutlaknya hak yang dimiliki seseorang, namun bilamana pemegangnya tidak memiliki wewenang atau kekuasaan maka semua hak yang dimiliki tersebut sama sekali tidak punya arti atau tidak ada gunanya.
b. Aspek perlindungan hukum yang memberikan kekuatan. Melalui perlindungan hukum tersebut mensyahkan atau melegalisir hak seseorang sehingga memiliki kekuasaan atau wewenang untuk menggunakannya.
c. Aspek pembatasan hukum yang membatasi seseorang dalam menggunakan haknya supaya tidak sampai melampaui batas. Maksudnya dalam menggunakan haknya, seseorang dibatasi hukum supaya tidak melampaui kepantasan dan kelayakan yang dapat menimbulkan kerugian pada pihak lain.
Berdasarkan uraian tersebut di atas menunjukan kepada kita bahwa seseorang di dalam menggunakan haknya tidak bisa dilakukan secara mutlak. Artinya meskipun itu haknya tetapi dalam penggunaannya dibatasi oleh hak orang lain. Oleh karena itu dalam menggunakan hak harus memperhatikan atau mempertimbangkan hak orang lain. Setiap orang pasti memiliki hak sekaligus kewajiban. Bahkan antara hak dan kewajiban ibarat sekeping mata uang. Dibalik hak ada kewajiban yang harus dilakukan, demikian sebaliknya.
Ada beberapa aspek atau hal yang perlu diperhatikan pada saat melaksanakan kewajiban, antara lain:
a. Aspek kemungkinan atau kelogisan, maksudnya bahwa adanya kemungkinan atau kemampuan bagi pihak berkewajiban untuk melaksanakan kewajiban tersebut sebagaimana mestinya.
b. Aspek perlindungan hukum, maksudnya bahwa adanya perlindungan hukum yang melegalisir atau mensahkan pihak yang berkewajiban yang akan melindungi yang bersangkutan dari segala macam tuntutan manakala ia telah melaksanakan kewajibannya.
c. Aspek pembatasan hukum, maksudnya adalah adanya pembatasan secara hukum yang diberikan kepada pihak berkewajiban sehingga hal tersebut akan menjaga atau membatasi supaya dalam menjalankan kewajibannya jangan sampai kurang dari batas minimal kewajiban,, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pihak lain. d. Aspek pengecualian hukum, yaitu adanya pertimbangan hukum yang merupakan aspek pengecualian yang diberikan kepada seseorang dalam melaksanakan kewajibannya dengan tidak memadai.
Aristoteles (dalam Nurmalina dan Saifullah : 2008 : 45) mengatakan bahwa warga negara yang bertanggung jawab adalah warga Negara yang baik, dan warga negara yang baik adalah warga negara yang memiliki keutamaan atau kebajikan sebagai warga negara. Terkait dengan hal keutamaan dan kebajikan ini, Plato mengatakan ada empat keutamaan atau kebajikan yang dihubungkan dengan tiga bagian jiwa manusia. Adapun keempat keutamaan yang dimaksud adalah :
1. Pengendalian diri (temperance), hal ini dihubungkan dengan nafsu
2. Keperkasaan (fortitude), hal ini dihubungkan dengan semangat
3. Kebijaksanaan atau kearifan, hal ini dihubungkan dengan akal
4. Keadilan, hal ini dibhubungkan dengan ketiga bagian jiwa manusia sebelumnya (pengendalian diri, keperkasaan dan kebijaksanaan/kearifan)
Hal ini dapat disederhanakan melalui visualisasi table berikut :
Tabel 1 : Kebajikan atau keutamaan manusia
Keutamaan atau kebajikan | Jiwa manusia |
• Pengendalian diri (temperance) • Keperkasaan (fortitude) • Kebijaksanaan atau kearifan • Keadilan | • Nafsu (ephitumia) • Semangat (thumos) • Akal (nous) • Nafsu, semangat dan akal |
Aristoteles sebagai murid dari Plato memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat gurunya. Aristoteles (dalam Nurmalina dan Saifullah : 2008 : 46) berpandangan bahwa keutamaan atau kebajikan manusia sesuai peran dan fungsinya yang ada harus di lihat secara utuh. Terkait dengan ini fungsi dan peran warga negara berbeda-beda satu dengan yang lainnya, apalagi bila di lihat di dalam negara pasti memiliki warga negara yang beragam atau berbeda-beda. Aristoteles mengatakan bahwa kebajikan seluruh warga negara suatu negara tidak mungkin satu, melainkan beragam atau berbeda-beda yaitu sesuai dengan fungsi dan peran yang dimiliki masing-masing.
Pendapat Aristoteles tentang kebajikan atau keutamaan ini nampaknya lebih realistis dan masih relevan bila dikaitkan dengan konteks kehidupan warga negara saat ini. Adanya keberagaman individu warga negara dengan status dan perannya masing-masing berbeda satu dengan yang lainnya, merupakan suatu realitas yang tidak terbantahkan, termasuk di dalam merealisasikan fungsi dan peran yang dimiliki berbeda-beda pula.
Warga Negara yang bertanggung jawab akan selalu berusaha melaksanakan dan menggunakan hak dan kewajibannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku seoptimal mungkin. Warga negara yang cerdas, dalam melaksanakan hak dan kewajiban yang dimiliki akan selalu berupaya mengetahui ruang lingkup tanggung jawab yang harus diembannya. Apabila dicermati, ada beberapa tanggung jawab yang harus diemban dan dilaksanakan oleh warga negara, antara lain :
1. Tanggung jawab pribadi meliputi :
a. Tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa
b. Tanggung jawab terhadap diri sendiri
2. Tanggung jawab sosial, meliputi :
a. Tanggung jawab terhadap masyarakat
b. Tanggung jawab terhadap lingkungan
c. Tanggung jawab terhadap bangsa dan Negara
Adapun penjelasan masing-masing sebagai berikut ini :
Ad 1 : Tanggung Jawab Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini di dasarkan pada sila I Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa dan UUD 1945 pasal 29 ayat (1) berbunyi : Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, pasal 29 ayat (2) berbunyi : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.
Berdasarkan landasan idiil sebagaimana tercantum dalam Pancasila sila I dan konstitusioal yang tercantum pada pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 tersebut mewajibkan kepada setiap warga negara Indonesia untuk senantiasa melandasi sikap dan perilakunya dengan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Tanggung jawab warga Negara terhadap Tuhannya diwujudkan dengan melaksanakan semua perintah dan mejauhi larangan-laranganNYA. Hal ini masing-masing akan dimanifestasikan dalam bentuk sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Kesemuanya itu dipancari oleh nilai-nilai keimanan dan ketakwaan terhadap TYME dalam melakukan hubungan atau interaksi dengan sesama di dalam kehidupan masyarakat. Tuhan mengajarkan kepada setiap hambaNYA untuk menjalin hubungan yang baik dan harmonis dengan siapa saja dengan tanpa memandang perbedaan suku, ras, agama, warna kulit, bahasa, maupun perbedaan-perbedaan yang lain. Di hadapan Tuhan YME manusia tidak dinilai karena kedudukan, jabatan, harta kekayaan yang dimiliki, status sosial maupun titel atau pengetahuan yang dimiliki. Di mata Tuhan YME nilai manusia teletak pada derajat keimanan dan ketakwaannya kepadaNYA.
Ada beberapa cara dalam mengimplementasikan bentuk tanggung jawab warga negara terhadap Tuhan YME, diantaranya :
a. Mensyukuri segala nikmat yang telah dikaruniakan-NYA kepada kita
b. Taat beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing
c. Melaksanakan segala perintah-NYA dan menjauhi segala laranganNYA
d. Terus menuntut ilmu sepanjang hayat serta menggunakan demi kebaikan umat manusia
e. Menjalin tali silaturahmi atau persaudaraan dengan siapa saja guna menciptakan kehidupan yang aman, tenteram , damai dan sejahtera
Ad 2 : Tanggung Jawab Terhadap Masyarakat
Sebagai mahluk sosial manusia tidak bisa lepas dari masyarakat. Frans Magnis Suseno (1993) mengatakan bahwa kebermaknaan manusia itu jika ia hidup di masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi mengingat manusia sebagai mahluk social tidak bisa lepas dari keberadaan manusia lain. Artinya manusia dalam memenuhi semua kebutuhan hidup agar dapat tetap mempertahankan kelangsungan hidupnya selalu membutuhkan orang lain. Sehingga manusia sepanjang hayatnya selalu membutuhkan orang lain, mulai lahir bahkan sejak masih ada di dalam Rahim seorang ibu sampai meninggal membutuhkan orang lain. Dalam kaitan inilah dikatakan bahwa manusia sebagai anggota masyarakat senantiasa cenderung hidup berkelompok / bermasyarakat.
Sebagai anggota masyarakat, perwujudan tanggung jawabnya dapat
dilaksanakan dalam bentuk sikap dan perilaku sebagai berikut :
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
b. Menjaga dan memelihara persatuan dan kesatuan masyarakat
c. Meningkatkan rasa kesetia kawanan sosial di antara sesama anggota masyarakat
d. Menghindari sikap dan tindakan diskriminatif dalam rangka menghindari terjadinya perpecahan di masyarakat, bangsa dan negara
Ad 3 : Tanggung Jawab Terhadap Lingkungan
Manusia dan lingkungan memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Manusia selalu membutuhkan lingkungan sebagai tempat hidup dan tempat kehidupannya, sementara untuk memelihara kelestariannya lingkungan membutuhkan campur tangan manusia. Sumaatmaja (1998) mengatakan bahwa manusia dan alam ada dalam konteks keruangan yang saling mempengaruhi. Hanya saja tingkat pengaruh yang diberikan manusia terhadap lingkungan ditentukan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang dikuasai. Berdasarkan Iptek tersebut hubungan manusia dengan alam dapat dikelompokkan menjadi tiga :
a. Kelompok manusia yang masing sangat tergantung kepada alam
b. Kelompok manusia yang baru mampu menyesuaikan dengan alam
c. Kelompok manusia yang sudah mampu mengelola serta memanfaatkan alam
Tanggung jawab yang dimiliki manusia dalam melakukan hubungan dengan lingkungan alam tidaklah ringan. Manusia dituntut memiliki sikap dan dan perilaku, antara lain :
a. Memelihara dan menjaga kebersihan lingkungan
b. Mengeksploitasi lingkungan sesuai kebutuhan, dan tidak dilakukan secara berlebihan
c. Menggunakan teknologi ramah lingkungan
Apabila setiap individu di dalam masyarakat dapat melaksanakan hubungannya dengan lingkungan secara bertanggung jawab seperti yang di uraikan di atas, niscaya kehidupan di dalam masyarakat akan dapat berjalan dengan tertib, aman, damai serta penuh dengan romantika dan keindahan. Penggunakan teknologi yang ramah lingkungan dalam pemaantaatan potensi alam, disamping dapat meningkatkan kesejahteraan hidup , juga akan dapat menjaga kelestariannya. Oleh karena itu, manusia harus mampu menguasai teknologi, bukan sebaliknya, teknologi yang menguasai manusia. Dengan menguasai teknologi manusia akan dapat mengendalikan tehnologi tersebut sesuai dengan keinginannya. Kerusakan alam lingkungan seringkali terjadi sebagai akibat ketidak mampuan manusia menguasai teknologi atau teknologi sudah menguasai manusia itu sendiri.
Ad 4 : Tanggung Jawab Terhadap Bangsa dan Negara
Kelangsungan hidup serta maju mundurnya suatau bangsa menjadi tanggung jawab warga negaranya. Berdirinya suatu Negara karena keinginan bersama dari warga negaranya. Konsekunsinya bahwa untuk mempertahankan kelangsungan hidup Negara yang didirikan menjadi tanggung jawab semua warganegara. Demikian pula keadaan suatu bangsa, apakah bangsa itu maju, berkembang, bahkan mengalami kemuduran sangat bergantung dan menjadi tanggung jawab warganya sendiri.
Sebagai warga Negara Indonesia sudah menjadi tugas dan tanggung jawab kita semua untuk mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa adanya partisipasi (sebagai bentuk tanggung jawab) seluruh warga negara, tidak menutup kemungkinan bangsa dan negara ini bisa mengalami kehancuran. Apalagi jika kita ingin mewujudkan tujuan dan cita-cita nasional sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Hal itu menuntut semua kita melakukan tanggung jawab sebagai warga negara secara konsisten dan konsekuen. Semua itu dapat diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku kehidupan sehari-hari berupa :
a. Memahami, menghayati serta mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam segala
a. aspek kehidupan sehari-hari
b. Menjaga dan memelihara nama baik bangsa dan negara
c. Menjaga persatuan dan keutuhan bangsa
d. Membina kesetiakawanan sosial diantara sesame warga negara Indonesia
e. Meningkatkan wawasan kebangsaan.
D. Warga Negara partisipatif
Setiap bangsa dan Negara mengharapkan warganya ikut berpartisipasi atau terlibat dalam setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan. Bentuk dan wujud partisipasi sangat beragam, dapat berupa fisik dan non fisik. Partisipasi dilakukan dengan berbagai alas an/landasa, seperti : karena paksaan dengan disertai sanksi, ajakan orang/kelompok lain atau kesadaran sendiri. Partisipasi yang paling baik adalah partisipasi yang dilakukan seseorang karena kesadaran dan kemauan sendiri. Koentjaraningrat (1994) mengatakan ada tiga bentuk partisipasi : (1) berbentuk tenaga, (2) berbentuk pikiran, dan (3) berbentuk materi atau benda.
Partisipasi dalam bentuk tenaga, di mana warga negara terlibat atau ikut serta dalam berbagai kegiatan melalui tenaga yang dimilikinya. Partisipasi dalam bentuk ini seringkali disebut dengan partisipasi fisik. Contoh partisipasi dalam bentuk fisik, seperti : ikut serta telibat dalam kerja bakti atau gotong royong yang dilaksana di lingkungan RT, RW dan sebagainya.
Partisipasi dalam bentuk pikiran, di mana warga Negara dapat terlibat atau ikut serta dengan cara menyumbangkan ide, gagasan atau pemikiran dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi bersama serta untuk kebaikan bersama. Contoh partisipasi dalam bentuk ini, seperti : menyampaikan saran atau memberikan masukan kepada pihak pemerintah baik dengan cara lisan maupun tertulis melalui media (Koran, majalah, radio atau televisi) dan disampaikan dengan cara dan bahasa yang santun dan bersifat membangun.
Sedangkan partisipasi dalam bentuk materi atau benda adalah keterlibatan atau keikutsertaan warga negara dalam suatu kegiatan yang diwujudkan dalam bentuk materi maupun benda tertentu. Contoh partisipasi dalam bentuk ini, seperti : memberikan sumbangan berupa uang atau barang pada korban bencana alam, atau memberikan dana bantuan kepada warga negara yang sedang dilanda banjir di daerah tertentu, dan sebagainya.
Berpartisipasi merupakan salah satu ciri sebagai warga negara yang baik. Seseorang dengan alas an apapun tidak boleh tidak berpartisipasi, karena berpartisipasi merupakan kewajiban warga negara dan sebagai wujud pemiliki kedaulatan rakyat. Pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa yang demokratis dapat terhambat sebagai akibat tidak adanya partisipasi dari warganya. Pemerintahan demokrasi sebagaimana yang dikemukakan Abraham Lincoln, adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, dilaksanakan oleh rakyat dan ditujukan untuk rakyat. Dari pengertian tersebuti, demokrasi hakikatnya adalah partisipasi. Dalam kaitan inilah maka partisipasi sangat penting artinya dalam kehidupan suatu negara.
Dari uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan warga negara dalam proses bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat. Ada tiga unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan warga Negara berpatisipasi, yaitu (a) ada rasa kesukarelaan atau tanpa adanya paksaan, (b) adanya keterlibatan secara emosional, dan (c) adanya manfaat yang diperoleh dari keterlibatannya.
Warga negara partisipatif adalah warga negara yang senantiasa melibatkan diri atau ikut serta dalam berbagai kegiatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada berbagai aspek kehidupan nasional. Partisipasi warganegara meliputi berbagai aspek kehidupan nasional seperti, aspek politik (pol), aspek ekonomi (ek), aspek sosial budaya (sosbud) dan yang lainnya. Membentuk warga negara yang partisipatif bukanlah hal yang mudah, semudah kita mengucapkan. Mewujudkan warga negara yang partisipatif membutuhkan kesadaran dan komitmen yang tinggi.
1. Partisipasi pada aspek Politik
Ada beberapa pendapat yang terkait dengan partisipasi politik sebagaimana di sampaikan berikut ini, antara lain :
a. Rush dan Athof (1993) dalam Nurmalina (2008) mengemukakan bahwa partisipasi politik dimaksudkan adalah keikutsertaan atau keterlibatan individu warga negara dalam sistem politik. Rush dan Athof hanya memberikan pengertian tentang partisipasi politik ini pada setiap kegiatan yang diikuti warga negara pada setiap kegiatan politik yang ada.
b. Huntington dan Nelson (1990) memberikan difinisi partisipasi pada aspek politik ini sebagai kegiatan warga negara preman (sipil : penulis) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.
Berbeda dengan pendapat Rush dan Athof di atas, Huntington dan Nelson melihat bahwa di dalam partisipasi politik ini ada tiga hal yang terkandung di dalamnya. Adapun ketiga hal yang dimaksudkan adalah (1) partisipasi meencakup kegiatan-kegiatan politik yang obyektif, bukan kegiatan-kegiatan politik yang subyektif; (2) yang dimaksudkan dengan warga negara preman adalah warga Negara sebagai perseorangan (individu) dalam berhadapan dengan masalah politik; (3) kegiatan yang dilakukan dalam partisipasi politik difokuskan untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan pemerintah.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan partisipasi politik tidak lain adalah keikut sertaan atau keterlibatan setiap warga negara dalam kegiatan-kegiatan sistem politik yang ada, di mana hal tersebut berlangsung disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing warga negara yang bersangkutan.
Secara teori partisipasi politik dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni partisipasi politik konvensional dan partisipasi non konvensional. Di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara partisipasi politik konvensional dianggap sebagai partisipasi yang normal. Partisipasi politik ini merupakan hal yang biasa dilakukan di dalam negara demokrasi modern. Bentuk-bentuk partisipasi politik konvensional ini dapat berupa : pemberian suara (voting), diskusi politik, kampanye, membentuk kelompok kepentingan, komunikasi aktif dengan pejabat politik atau pemerinta.
Sementara partisipasi politik non konvensional dimaksudkan merupakan partisipasi politik yang dilakukan dengan penuh kekerasan atau dilakukan secara revolusioner. Karena partisipasi dalam bentuk ini dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau bersifat revolusioner, maka sering dianggap sebbagai partisipasi yang illegal. Bentuk-bentuk partisipasi politik non-konvensional antara lain : petisi, demontstrasi, konfrontasi, mogok, tindakan kekrasan politik terhadap benda atau manusia, perang gerilya , revolusi dan sebagainya.
Beberapa contoh partisipasi politik yang dapat dilakukan warga negara sesuai dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing :
a. Mengkritisi secara arif kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
Warga Negara yang baik senantiasa mau merespon dan mengkritisi berbagai kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Warga Negara bukan waktunya lagi menerima secara membabi buta setiap kebijakan yang ditetapkan pemerintah, melainkan dituntut mau dan mampu memberikan tanggapan berupa kritik atau masukan yang konstruktif. Di dalam budaya politik parokial, partisipasi politik warga negaranya sangat rendah. Warga negara lebih bersifat pasif, cenderung hanya menerima begitu saja produk-produk politik yang dihasilkan pemerintah. Di negara yang budaya politiknya bersifat parokial kebijakan-kebijakan yang ada dalam kaitan dengan pembangunan nasional bersifat to-down. Setiap negara demokrasi modern seperti sekarang ini mengarapkan partisipasi politik masyarakat sebagai masukan dan perbaikan pembangunan yang dilakukan.
Kritik dan masukan dapat disalurkan dengan berbagai macam cara, diantaranya dengan melakukan demonstrasi atau unjuk rasa secara damai dan dilakukan sesuai dengan peraturan-perundang-undangan yang berlaku. Karena konstitusi (UUD 1945) sendiri memberikan jaminan pada warga negara untuk mengemukakan pendapat di depan umum baik secara lisan maupun tertulis. Hak dan kewajiban warga Negara tersebut dijabarkan dan diatur lebih lanjut dalam Undang Undang Nomor 9 tahun 1998 yang mengatur tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Dengan ditetapkannya undang undang tersebut memberikan peluang terbuka bagi semua warga masyarakat untuk mengajukan berbagai gagasan atau pandangan terkait dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan ketentuan harus dilakukan secara positif.
b. Aktif dalam sebuah partai politik
Partai politik merupakan suatu kelompok yang ada di masyarakat yang dilakukan secara terorganisir dan anggota-anggotanya memiliki orientasi, nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan dari partai politik adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dengan jalan merebut kekuasaan yang dilakukan secara konstitusional. Pada era reformasi sekarang ini peluang untuk terlibat dalam partai politik sangat terbuka. Kondisi ini dimanfaatkan dengan baik oleh anggota masyarakat, terbukti jumlah partai politik yang ada sekarang sekitar 39 partai politik.
c. Aktif dalam kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau sering pula disebut Organisasi Non Pemerintah (ORNOP) atau dalam bahasa Inggrisnya Non Government Organisation (NGO) merupakan suatu wadah bagi masyarakat untuk mewujudkan partisipasi politik, yang bersifat memberikan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan dalam rangka menuju pemerintahan yang baik, transparan dan bertanggung jawab.
d. Aktif melakukan Diskusi Politik
Belakangan diskusi politik sebagai bentuk salah satu partisipasi politik masyrakat berkembang dengan pbegitu pesat. Berbagai kegiatan dilakukan terkait hal itu, baik yang dilaksanakan secara langsung melalui forum-forum diskusi, seminar maupun saresahan, maupun melalui kegiatan-kegiatan yang difasilitasi media massa baik TV, Koran dengan cara melibatkan partisipasi aktif anggota masyarkat. Berbagai kegiatan tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga menarik bagi anggota masyarakat mengikuti atau terlibat di dalamnya. Untuk memperoleh respon positif dari masyarakat, tema-tema yang diangkat menjadi tema diskusi adalah wacana-wacana politik yang sedang hangat dan aktualdi masyarakat. Proses politik yang berlangsung melalui diskusi politik tersebut dapat dijadikan salah satu bentuk pendidikan politik yang efektif guna meningkatkan pengetahuan dan pendewasaan politik masyarakat.
Di dalam melakukan partisipasi politik, agar dapat berjalan dengan baik, perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut ini :
1) Sikap apatis yaitu sikap yang tidak memiliki rasa kepudian atau minat atau perhatian kepada orang lain.
2) Sikap sinis, maksudnya adanya perasaan curiga kepada orang. Politik dianggap sebagai hal-hal yang terkait dengan urusan yang koto-kotor, sehingga politisi tidak dapat dipegang omongannya atau tidak dapat dipercaya. Dalam kaitan ini seringkali masyarakat mengumpamakan seperti : “isuk tempe sore dele” maksudnya pagi bilangnya A, sore hari sudah berubah menjadi Z.
3) Alienasi, maksudnya masyarakat merasa bahwa politik itu sesuatu hal yang asing. Mereka cenderung berpikir politik dan pemerintahan dilakukan orang lain dan juga diperuntukkan untuk orang lain.
4) Anomie, maksudnya adanya suatu perasaan yang dimiliki masyarakat di mana mereka merasa kehilangan nilai dan arah. Masyarakat merasa tidak dipedulikan oleh pihak penguasa, sehingga mengakibatkan hilangnya gairah dan keinginan untuk berpartisipasi.
2. Partisipasi pada aspek Sosial
Partisipasi social terkait erat dengan keterlibatan atau keikut sertaan warga negara dalam dalam kegiatan-kegiatan social kemasyarakatan. Partisipasi sosial ini dapat berjalan dengan baik apabila setiap individu warga negara memiliki kepekaan sosial, yaitu suatu kondisi di mana individu warga negara mudah merespon atau bereaksi manakala ada masalah di masyarakat. Dimilikinya perasaan ini oleh warga negara menjadi pendorong timbulnya partisipasi social. Dengan kata lain, partisipasi sosial dalam kehidupan, bermasyarkat, berbangsa dan bernegara dapat berjalan dengan baik, jika dalam setiap diri warga negara tumbuh dan berkembang kepekaan sosial.
Partisipasi sosial dapat diwujudkan dengan berbagai cara, seperti :
a. Membantu orang lain sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, baik berupa moril maupun materiil
b. Membantu memberikan solusi terhadap suatu permasalahan yang dialami orang lain maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
c. Menjadi penggerak atau agen perubahan dan bukan menjadi beban bagi masyarakat
d. Ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan di masyarakat
e. Ikut menjaga keamanan dengan melakukan siskamling
f. Ikut menjaga keutuhan masyarakat, bangsa dan Negara dengan selalu menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan
3. Partisipasi dalam bidang Ekonomi
Partisipasi dalam bidang ekonomi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan warga negara dalam pembangunan ekonomi bangsa. Keterlibatan warga negara dalam bidang ekonomi sangat diharapkan, karena hal tersebut penting artinya agar dapat mendorong pertumbuhan dan pertumbuhan ekonomi negara. Warga negara dapat melakukan partisipasi dalam aspek ekonomi dengan cara :
a. Taat membayar pajak
b. Bersikap hemat dengan menggunakan dana yang ada sesuai kebutuhan
c. Rajin menabung guna menyiapkan masa depan
d. Mau menyisihkan harta untuk orang-orang yang membutuhkan
e. Tidak menggunakan fasilitas negara demi kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan
f. Dapat mengembangkan jiwa kewirausahaan dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain
4. Partisipasi pada aspek Budaya
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa bangsa Indonesia adalah suatu bangsa yang masyarkatnya sangat majemuk dalam berbagai aspek kehidupan agama, ras, adat istiadat, antar golongan (SARA). Keragaman tersebut merupakan suatu anugrah yang patut dijaga dan dilestarikan dan bahkan dikembangkan kea rah yang lebih baik lagi. Untuk itu partisipasi dari seluruh warga negara sangat dibutuhkan.
Berikut merupakan beberapa contoh partisipasi dalam aspek budaya, seperti :
a. Mencintai budaya-budaya lokal dan juga budaya nasional, misalnya : dengan mencintai produk-produl daerah sendiri dan produk dalam negeri
b. Tidak bersikap etnosentrisme ataupun chauvisisme, dengan terlalu mengagung-agungkan daerah atau bangsa sendiri dan menganggap yang lain lebih rendah
c. Selalu berinovasi dan berkreasi untuk mengembangkan budaya daerah sekaligus budaya nasional
Partisipasi warga Negara dalam berbagai aspek kehidupan sangat diperlukan dalam rangka mewujudkan tujuan maupun cita-cita nasional yang diinginkan. Tanpa adanya partisipasi dari seluruh waganya, cita-cita maupun tujuan yang diinginkan bangsa yang bersangkutan mustahil dapat terwujud. Partisipasi warga negara yang baik dan bertanggung jawab dapat ditingkatkan dengan cara:
a. Menambah pengetahuan masyarakat, mengingat masyarakat akan dapat melakukan partasipasi dengan benar jika mereka memiliki pengetahuan yang benar tentang hal itu.
b. Memberikan latihan kepada masyarkat akan keterampilan untuk berpartisipasi.
c. Mengembangkan karakter masyarakat
d. Melakukan komitmen-komitmen dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sumber https://blogomjhon.blogspot.com/