Hakikat, Tujuan dan Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan

A. Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan

Untuk mengetahui hakikat pendidikan kewarganegaan kita harus menelusuri perkembangan mata pelajaran tersebut di dalam kurikulum pendidikan yang pernah berlaku di Indonesia sejak Indonesia merdeka. Di dalam kurikulum 1946, kurikulum 1957 dan kurikulum 1961 tidak ditemukan adanya mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Pada kurikulum 1946 dan kurikulum 1957 materi yang ada dikemas dan dimasukkan ke dalam mata pelajaran ilmu pengetahuan umum untuk jenjang SD dan mata pelajaran Tata Negara di SMP dan SMA. Mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) baru dikenal pada kurikulum 1968. Ruang lingkup materinya mencakup Sejarah Indonesia, Geografi, dan Civics sebagai pengetahuan Kewargaan Negara. Materi ini diperuntukan pada jenjang Sekolah Dasar. Materi yang ada pada jenjang SMP meliputi Sejarah Indonesia dan Tata Negara. Sedangkan pada jenjang SMA materi PKN lebih banyak berisikan materi UUD 1945. Pada jenjang pendidikan SPG yang menggunakan kurikulum 1969, mata pelajaran PKN mencakup Sejarah Indonesia, UUD, Kemasyarakatan dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Dalam perkembangannya di dalam kurikulum sekolah Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) 1973 ada mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) dan ada Pengetahuan Kewargaan Negara. Melalui kurikulum PPSP pada jenjang SD 8 tahun, diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial yang di dalamnya berisikan tentang materi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Sedangkan pada jenjang Sekolah Menengah 4 tahun, diberikan mata pelajaran Studi Sosial Terpadu dan mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) dan Civics dan Hukum khusus bagi yang mengambil jurusan sosial.

Selama ini apabila dicermati ada dua wacana berbeda yang berkembang yang perlu mendapat penjelasan. Ada istilah kewarganegaraan dan kewargaan negara. Soemantri (1967) mengatakan bahwa istilah kewarganegaraan digunakan dalam perundangan mengenai status formal warga negara dalam suatu negara, seperti misalnya tentang perolehan status dan kehilangan status warga negara Indonesia sebagaimana di atur dalam Undang Undang No. 12 tahun 2006. Sementara istilah kewargaan negara merupakan terjemahan dari istilah “Civics” yaitu merupakan mata pelajaran ilmu sosial yang bertujuan membina dan mengembangkan anak didik agar menjadi warga negara yang baik (good citizen). Warga Negara yang baik di sini dimaksudkan adalah warga negara yang tahu (memiliki pengetahuan), mau (sikap), dan mampu (keterampilan) melaksanakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehari-hari. Atau dengan kata lain warga negara yang baik adalah warga negara yang tahu, sadar dan mampu melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

Secara historis pada kurikulum 1975 istilah Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Mata pelajaran PMP berisikan materi pokok Pancasila sebagaimana yang dijabarkan di dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Hal ini dilakukan untuk melaksanakan apa yang diamanatkan oleh ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang P-4. Pada saat itu mata pelajaran PMP menjadi mata pelajaran wajib yang harus diberikan di tingkat SD, SMP, SMA, SPG dan Sekolah Kejuruan. Hal ini terus berlanjut dan tetap dipertahankan baik istilah maupun isi/materinya sampai berlakunya kurikulum 1984.

Keluarnya Undang Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggariskan adanya Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan (PPKn) di semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan berdampak pada perubahan kurikulum. Untuk mengakomodasi perintah UU No. 2 tahun 1989 tersebut maka dikeluarkan kurikulum 1994, yang di dalamnya memperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan (PPKn).

Berbeda dengan kurikulum 1975 dan 1984, kurikulum PPKn 1994 mengorganisasi materinya tidak atas dasar rumusan butir-butir nilai P-4, tetapi atas dasar konsep nilai yang disaripatikan dari P-4 dan sumber resmi lainnya yang ditata dengan menggunakan pendekatan spiral meluas (spiral of concep development). Pendekatan ini mengartikulasikan sila-sila Pancasila dengan jabaran nilainya untuk setiap jenjang pendidikan dan kelas serta catur wulan dalam setiap kelas. Sesuai dengan Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan MPR berdasarkan TAP No. II/MPR/1998 yang menentukan bahwa Pendidikan Pancasila mencakup pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa serta unsur-unsur yang dapat mengembangkan jiwa, semangat dan nilai-nilai kejuangan khususnya nilai-nilai 45 kepada generasi muda. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam Pendidikan Pancasila memuat pendidikan ideologi, pendidikan nilai dan moral, serta pendidikan kejuangan.

Sejak berlakunya Undang Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai pengganti Undang Undang No. 2 tahun 1989, pasal 37 ayat (2) menetapkan kurikulum pada pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi harus memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan dan bahasa. Dengan demikian pendidikan Pancasila tidak lagi diberikan secara sendiri, namun berubah namanya menjadi pendidikan kewarganegaraan yang di dalamnya berisikan pendidikan nilai dan moral yang bersumber pada Pancasila. Adapun tujuan diberikannya Pendidikan Kewarganegaraan adalah dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Hal ini seiring dengan tujuan pendidikan sebagaimana yang tertuang di dalam Undang Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) yakni untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan dan mewujudkan tujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi warga negara yang demoktratis dan bertanggung jawab. Secara substanstif pendidikan kewarganegaraan sebagaimana yang ada dalam undang undang SISDIKNAS dapat dipahami sebagai suatu mata pelajaran yang merupakan wahana pedagogis untuk mengembangkan rasa atau intuisi kebangsaan dan cinta tanah air atau patriotisme serta nilai kebajikan demokratis. Yang seringkali menjadi persoalan dalam mencapai tujuan tersebut adalah di dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang dapat mengembangkan nilai-nilai Pancasila sebagaimana yang diharapkan.

Dari uraian tersebut di atas kita dapat melihat cita-cita, konsep, nilai serta prinsip yang secara konseptual tersurat dan tersirat di dalam dokumen-dokumen resmi yang memuat pilar-pilar pendidikan nasional Indonesia terkait pendidikan kewarganegaraan. Secara sederhana dapat dijabarkan sebagai berikut :

1)   Sejak proklamasi 17 Agustus 1945 pendidikan nasional bertujuan untuk membentuk dan membimbing perserta didik menjadi warga negara yang memiliki rasa tanggung jawab. Tujuan pendidikan nasional ini dilakukan melalui mata pelajaran budi pekerti
2)   Pada tahun 1950 keluar Undang Undang Nomor 4 Tahun 1950 dirumuskan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
3)   Pada tahun 1954 keluar Undang Undang nomor 12 tahun 1954 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang menggariskan bahwa tujuan pendidikan adalah “….untuk melahirkan warga negara sosialis, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya Masyarakat Sosialis Indonesia, adil dan makmur baik materiil maupun spiritual dan yang berjiwa Pancasila…..”.
4)   Pada tahun 1975/1976 dikeluarkan kurikulum 1975 yang menggariskan diberikan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di sekolah-sekolah. Visi dan misi diemban mata pelajaran PMP ini adalah nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
5)   Pada tahun 1984 ada perkembangan baru di dalam ketetanegaraan di mana MPR mengeluarkan ketetapan No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) atau Eka Prastya Pancakarsa. Dengan dikeluarnya ketetapan MPR tersebut, pemerintah melalui menteri Pendidikan mengakomodirnya dengan mengeluarkan kurikulum pendidikan 1984. Visi dan misi kurikulum 1984 sama dengan visi misi kurikulum 1975, hanya saja muatan materi pembelajarannya berbeda. Muatan materi pembelajaran pada kurikulum 1984 adalah butir-butir P-4 yang meliputi 36 butir.
6)   Pada tahun 1989 keluar Undang Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di dalam UU No. 2 tahun 1989 tersebut mengatur tentang mewajiban pada kurikulum yang ada di setiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan untuk memuat mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Dengan demikian mata pelajaran PMP berubah nama menjadi pendidikan kewarganegaraan (PKn). Pada mapel PKn pembelajaran yang dilaksanakan dapat mengembangkan kebijaksanaan warganegara (civic virtue) dan pembudayaan/pembiasaan keterampilan (civic culture) di dalam kehidupan sehari-hari secara demokrasi.
7)   Pada tahun 1994 keluar kurikulum baru yakni kurikulum 1994 di mana Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagaimana kurikulum 1989 berubah lagi menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Pada kurikulum 1994 ini meskipun kajian PPKn sama dengan kajian kurikulum 1989, tetapi karakteristik kurikulernya berbeda. Hal ini dapat dilihat dari kurikulum 1994 sangat kental dengan Pendidikan Moral Pancasila yang di dalamnya didominasi oleh suatu proses pengembangan nilai serta desiminasi pengetahuan. Hal ini berlanjut sampai saat ini walau dengan berbagai perbaikan dan penyempurnaan.

Dari perkembangan kurikulum sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, kita memperolah gambaran dan dapat disimpulkan bahwa pendidikan kewarganegaraan pada hakikatnya merupakan pendidikan yang diberikan dalam rangka membentuk karakter warga negara yang baik (to be good Citizenship). Karakter warga negara yang baik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah karakter yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila baik sebagai dasar negara maupun sebagai pandangan hidup bangsa.

Begitu penting peranan yang dimiliki PKn dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik, maka pembelajaran PKn di sekolah perlu dikembangkan sebagai pusat pengembangan wawasan, sikap dan keterampilan hidup dan kehidupan yang demokratis. Semua ini dilakukan dalam rangka membangun kehidupan demokrasi sebagaimana yang diinginkan. Untuk itu sekolah harus dapat menjadi wahana pendidikan untuk mempersiapkan warga negara yang demokratis melalui : (a) pengembangan kecerdasan yang meliputi kecerdasan spiritual (SQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan rasional (IQ) dan kecerdasan moral (MQ), (b) membentuk sikap kemauan, serta (c) melatih keterampilan untuk mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

B. Fungsi Dan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan

Sekolah merupakan wahana bagi pengembangan dan pembentukan warga negara yang cerdas, demokratis dan bertanggung jawab. Oleh karenanya Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) secara kurikuler harus dapat berfungsi menjadi wahana psikologis-pedagogis utama dalam mengembangkan dan membentuk warga negara yang diinginkan. Hal ini sesuai dengan amanat yang diberikan oleh peraturan perundangan yang terkait dengannya, seperti halnya :

a.   Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945 khususnya alinea ke-4 yang menyatakan bahwa pembentukan pemerintahan negara Indonesia dimaksudkan untuk : “……mencerdaskan kehidupan bangsa, dan seterusnya ……”
b.   Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
1)   pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 ditentukan bahwa : “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan seterusnya ……”
2)   pasal 4 menentukan bahwa pendidikan diselengggarakan secara : (1) demokratis dan berkeadilan, (2) sebagai satu kesatuan yang sistemik, (3) sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik, (4) memberikan keteladanan, membangun kemauan dan mengembangkan kreativitas, (5) dapat mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi masyarakat, (6) dapat memberdayakan semua komponen masyarakat.
3)   pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa : “kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat : pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, dan seterusnya …..”
4)   pasal 38 menyatakan bahwa : “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai relevansinya oleh setiap kelompok atau setiap satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Provinsi untuk pendidikan menengah”.

c.   Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

1). Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan :

“Kurikulum SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB /Paket C, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat terdiri dari :

a). kelompok mata pelajaran keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia
b). kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
c). kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
d). kelompok mata pelajaran estetika
e). kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan

2). Pasal 6 ayat (4) menyatakan bahwa :

“Setiap kelompok mata pelajaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan secara holistik sehingga pembelajaran masing-masing kelompok mata pelajaran ikut mewarnai pemahaman dan/atau penghayatan peserta didik”

3). Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa :

“Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B,SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia”

Dari uraian tersebut di atas nampak bahwa pendidikan kewarganegaraan diberikan dan dikembangkan sebagai pranata atau tatanan secara sosio-pedagogis yang kondusif bagi tumbuh kembangnya kualitas pribadi peserta didik. Oleh karena itu sekolah sebagai bagian integral dari masyarakat perlu di arahkan dan dikembangkan sebagai pusat pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sepanjang hayat. Pembelajaran yang dilakukan di sekolah juga harus mampu memberi ketauladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik. Untuk itu proses pembelajaran yang dilakukan hendaknya berlangsung secara demokratis. Secara bertahap sekolah hendaknya menjadi komunitas yang memiliki budaya yang berintikan pengakuan dan penghormatan akan hak dan kewajiban serta adanya keharmonisan dalam menjalani hidup di dalam masyarakat yang tertib, adil dan beradab. Dalam kaitan itulah mata pelajaran PKn harus berfungsi sebagai wahana yang ada di dalam kurikulum untuk mengembangkan karakter warga negara Indonesia yang demokratis dan bertanggung jawab.

Wahab dan Sapriya (2011 : 311) mengatakan bahwa sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan akademik tujuan pendidikan kewarganegaan (civic/citizenship education) di Indonesia adalah untuk membentuk warga negara yang baik (to be good citizens). Segala sesuatu yang digunakan dan dilakukan guru dalam proses pembelajaran PKn hendaknya mampu membentuk dan menghasilkan lulusan sebagai warga negara yang baik. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimanakah warga negara yang baik itu? Orang atau warga negara seperti apa dikatakan sebagai warga negara yang baik?.

Untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tersebut, di bawah ini dikemukakan beberapa pendapat dari para tokoh, antara lain :

Nu’man Somantri (2001) memberikan gambaran tentang warga negara yang baik. Beliau mengatakan bahwa warga negara yang baik adalah warga negara yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a)   yang berani membela serta setia kepada bangsa dan Negara,
b)   memiliki sikap yang toleran kepada sesama,
c)   memeluk salah satu agama yang diakui negara, dan
d)   memiliki sikap demokratis.

Sementara Wahab (1996) memberikan identifikasi warga negara yang baik adalah warga negara yang memiliki kriteria :
a)   memahami dan mampu melaksanakan hak dan kewajibannya dengan baik,
b)   sebagai individu yang memiliki kepekaan dan tanggung jawab sosial,
c)   mampu memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan secara cerdas,
d)   memiliki sikap disiplin pribadi,
e)   mampu berpikir kritis , kreatif dan inovatif.

Winataputra dan Budimansyah (2007) berpendapat bahwa warga negara yang baik adalah warga negara yang memiliki pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), memiliki keterampilan kewarganegaraan (civic skill) dan memiliki watak kewarganegaraan (civic disposition). Pendapat ini bila dikaitkan dengan taksonomi Bloom, maka memiliki pengetahuan kewarganegaraan terkait dengan aspek kognitif, memiliki watak kewarganegaraan terkait dengan aspek afektif dan memiliki keterampilan kewarganegaraan terkait dengan aspek psikomotor. Pendapat ini senada dengan pendapat Dardji Darmodiharjo (1987), yang mengatakan bahwa pendidikan memuat unsur : mengajar (pengetahuan), mendidik (membentuk sikap), dan melatih (keterampilan).

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan kewarganegaraan bertujuan untuk :

1.   Menambah pengetahuan atau wawasan peserta didik akan segala hal yang terkait dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan benar melalui berbagai cara dan metode (aspek kognitif).
2.   Membina dan membentuk sikap warganegara yang mau dan meyakini akan pengetahuan yang telah diperoleh. Dengan demikian, pengetahuan yang telah dipahami tersebut akan diyakini dan terinternalisasi dalam diri atau mempribadi dalam jiwa peserta didik, yang akan menjadi sikapnya dalam menanggapi persoalan-persoalan yang ada (aspek sikap).
3.   Melatih keterampilan kewarganegaraan kepada peserta didik untuk dapat menjadi warga negara yang terampil berdemokrasi. Hal ini dilakukan melalui atau dengan cara membiasakan atau membudayakan kepada peserta didik bersikap dan berperilaku sesuai nilai-nilai serta norma yang berlaku dalam kehidupan sehari-har aspek Psikomotor).

Semua hal tersebut di atas nampaknya sejalan dengan tujuan pendidikan yang dicanangkan oleh UNESCO, yakni learning to know (aspek Pengetahuan), learning to be (aspek Afektif), learning to do and learning to life to gether (aspek keterampilan). Untuk itu semua maka PKn dikembangkan agar mampu mengarahkan warga negara yang dinamis dalam rangka menghadapi tantangan di era global. Warga Negara yang diharapkan melalu PKn adalah : (a) warga negara yang cerdas, (b) warga negara yang memiliki komitmen, serta (c) warga negara yang mampu melibatkan diri atau partisipatif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia serta dalam pergaulan internasional.

Di era global ini PKn seyogyanya diarahkan lebih fungsional dan dapat membantu peserta didik dalam memecahkan persoalan serta mampu mengambil keputusan sendiri di dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu PKn hendaknya disesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat. Maksudnya, PKn hendaknya mampu sebagai wahana yang dapat membentuk dan mengembangkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki kecerdasan agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

C. Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan

Sebagaimana telah diuaraikan sebelumnya, ruang lingkup materi yang dibahas di dalam pendidikan kewarganegaraan tentunya sesuai dengan sejarah perkembangan kurikulum. Untuk mengingat kembali sejarah perkembangan kurikulum pendidikan kewarganegaraan, dapat dijabarkan sebagai berikut :

1.   Sejak Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, tujuan pendidikan kewarganegaraan diarahkan pada pendidikan karakter yaitu suatu pendidikan yang bertujuan untuk membentuk dan membangun karakter bangsa. (Nation and character building) yang materinya terintegrasi ke dalam mata pelajaran-mata pelajaran yang ada.
2.   Pendidikan Kewarganegaran baru berdiri sendiri sebagai mata pelajaran setelah dikeluarkannya kurikulum 1968. Ruang lingkup materinya meliputi : sejarah perjuangan bangsa Indonesia, ilmu bumi, Pancasila dan UUD 1945
3.   Pada kurikulum 1975 ruang lingkup pendidikan kewarganegaraan (waktu itu bernama PMP) meliputi : Pancasila, Ketetapan MPR dan GBHN.
4.   Pada kurikulum 1984 ruang lingkup pendidikan kewarganegaraan adalah butir-butir P-4. Hal ini dilakukan untuk mengakomudasi perkembangan ketatanegaraan. Melalui sidang MPR pada tahun 1978, MPR menetapkan TAP No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Untuk itulah di bidang pendidikan dikeluarkan kurikulum 1984, khususnya pada pendidikan kewarganegaraan materinya meliputi 36 butir P-4.
5.   Pada tahun 1994 keurikulum pendidikan mengalami perubahan. Sejak saat itu mata pelajaran PMP berubah nama menjadi Pendidikan Kewarganegaaraan (PKn). Sesuai dengan ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN ditentukan bahwa materi PKn mencakup butir-butir P-4, PMP, PSPB dan unsur-unsur yang dapat mengembangkan semangat dan nilai-nilai kejuangan 45. Dengan kata lain pendidikan kewarganegaraan meliputi : pendidikan ideologi, pendidikan nilai dan moral serta pendidikan kejuangan.
6.   Pada tahun 2003 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menentukan bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan mata pelajaran wajib yang harus ada di setiap kurikulum satuan pendidikan. Sementara materinya terkait dengan empat pilar (elemen dasar : penulis) kehidupan berbangsa dan bernegara yakni : Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika. Penyanmpaian materi tersebut dikembangkan bukan saja pada aspek kognitif, namun juga tetap memberikan penekanan pada pembentukan sikap dan keterampilan peserta didik.

Ruang lingkup pendidikan kewarganegaraan pada hakikatnya meliputi seluruh kegiatan yang ada baik di sekolah melalui kegiatan intra kurikuler, kegiatan ko kurikuler maupun ekstra kurikuler yang dilakukan di dalam dan di luar kelas, melalui diskusi maupun kegiatan di dalam organisasi kesiswaan. Oleh karenanya pendidikan kewarganegaraan di dalamnya termasuk pengalaman, minat, kepentingan pribadi, masyarakat dan negara yang dinyatakan dalam kualitas pribadi seseorang.

Dalam kaitan ini NCSS (National Council for Sosial Studies) merumuskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) meliputi pengaruh-pengaruh positif dari :
(a)  pendidikan di sekolah;
(b) pendidikan di rumah; dan
(c)  pendidikan di lingkungan masyarakat.

Artinya seluruh kegiatan yang dilakukan peserta didik merupakan bahan masukan bagi pendidikan kewarganegaraan dalam memahami dan mengapresiasi tujuan dan cita-cita nasional serta membuat keputusan yang cerdas dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Nu’man Somantri (2001 : 299) mengatakan bahwa pendidikan kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pegaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat dan orang tua yang kesemuanya itu diproses guna melatih peserta didik berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Berdasarkan beberapa uraian di atas PKn adalah diberikan untuk mempersiapkan warga negara yang kritis, analitis, aktif, bersikap dan bertindak demokratis. Sehingga muara dari mata pelajaran PKn adalah mewujudkan warga negara yang partisipatif. Hal tersebut berlangsung sampai sekarang, meskipun dengan tambahan-tambahan dan penyempurnaan. Namun secara substasi ruang lingkup materi yang diberikan tidaklah berbeda. 


Sumber https://blogomjhon.blogspot.com/

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel