Ulama dan Karya Tafsir Periode Klasik Di Nusantara
Monday, March 20, 2017
Tulisan ini merupakan hasil tugas makalah Perkembangan Tafsir di Nusantara dan dibimbing oleh Dr. Fauzi Saleh, S.Ag, Lc, M.Ag, dosen fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry. Sebelumnya meneruskan membaca artikel ini sekiranya perlu anda membaca dulu kapan yang disebut era klasik pada perkembangan tafsir di Nusantara pada artikel sebelumnya dengan judul: Periode Klasik Tafsir Di Nusantara.
Sejak pertama Islam masuk ke Aceh tahun 1290 M, pengajaran Islam mulai lahir dan tumbuh, terutama setelah berdirinya Kerajaan Pasai. Waktu itu, banyak ulama yang mendirikan Surau, seperti Tengku cut mamplam Tengku Digeurudog, dan lain-lain. Pada zaman Iskandar Muda Meukuta Alam Sultan Aceh, awal abad ke-17 Masehi surau-surau di Aceh mengalami kemajuan. Muncul banyak ulama terkenal waktu itu, seperti Nuruddin Ar-Raniry, Ahmad Khatib Langin, Syamsudin Al-Sumaterani, Hamzah Fansuri, Abdur Rauf As-Singkili dan Burhanuddin.[ Islah Gusmian, Khazananh Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, (Yogyakarta: LKiS, 2013), hal. 17]
Proses pemahaman Al-Quran di Indonesia terlebih dahulu dimulai dengan penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Indonesia baru kemudian dilanjutkan dengan penafsiran yang lebih luas dan rinci. Oleh karena itu, maka dapat dipahami jika penafsiran Al-Quran di Indonesia melalui proses yang lebih lama jika dibandingkan dengan di tempat asalnya. Nashiruddin Baidan menyatakan bahwa kajian tafsir sebetulnya telah ada sejak masa Maulana Malik Ibrahim (822 H/1419 M), akan tetapi masih bersifat embriotik integral, yaitu masih bersifat lisan dan bersifat secara integral bersamaan dengan bidang lainnya seperti fiqih, aqidah, dan tasawuf. Metode yang digunakan dalam metode ijmali dan coraknya masuk umum, dengan arti tidak didominasi pemikiran tertentu dan bersifat praktis tergantung kebutuhan masyarakat sangat itu.[ Taufikurrahman, Kajian Tafsir Di Indonesia dalam Mutawatir: Jurnal keilmuan Tafsir Hadits, Volume 2, Nomor 1, Juni 2012,, hal.3]
Namun, kita bisa mencatat bahwa pada abad ke-16 di Nusantara ternyata telah muncul penulisan tafsir. Hal ini bisa dilihat dari naskah Tafsir Surah al-Kahfi [18]:9. Tafsir ini ditulis secara parsial berdasarkan surah tertentu, yakni surah al-Kahfi, namun sayangnya tidak diketahui siapa penulisnya. Manuskrip naskah ini dibawa dari Aceh ke Belanda oleh seorang ahli bahasa Arab dari Belanda, Erpinus (w. 1624) pada awal abad ke-17 M. Sekarang, manuskrip itu menjadi koleksi Cambridge University Library dengan katalog MS Ii.6.45. Diduga manuskrip ini dibuat pada masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), di mana mufti kesultanannya adalah Syams al-Din al-Sumatrani, atau bahkan sebelumnya, Sultan Ala’ al-Din Ri`ayat Syah Sayyid al-Mukammil (1537-1604), di mana mufti kesultanannya adalah Hamzah al-Fansuri.[ Islah Gusmian, Paradigma Penelitian Tafsir Al-Quran, Volume 24, Nomor 1, 1 Januari 2015,, hal. 1]
Tafsir Surat Al-Kahfi tersebut, dilihat dari corak dan nuansa tafsir, sangat kental dengan warna sufistik. Hal ini mencerminkan bahwa penulisnya adalah orang yang mempunyai pandangan spiritual yang tinggi. diduga, penulisnya adalah seorang pengikut salah satu tarekat yang mapan pada saat itu di Aceh, yaitu tarekat qadiriyah. rujukan utama tafsir surat Al Kahfi ini adalah ulasan Al baghawi, Ma'alim Al-Tanzil dengan demikian, dalam hubungannya dengan aktivitas keislaman di Asia Tenggara, ulasan Al Batawi tersebut sangat penting.[ Nur Huda, Islam Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hal. 346]
Satu abad kemudian, muncul karya tafsir Tarjuman al-Mustafid yang ditulis oleh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili (1615-1693 M) lengkap 30 juz. Tahun penulisan karya ini tidak bisa diketahui dengan pasti. Peter Riddel, setelah melihat informasi dari manuskrip tertua karya ini, mengambil kesimpulan tentatif, karya ini ditulis sekitar tahun 1675 M.[ Islah Gusmian, Paradigma Penelitian …, hal. 1]
Pada umumnya terjemahan Turjumanul Mustafid dipandang sebagai terjemahan dari tafsir otoritatif berbahasa Arab. Menurut Snouck Hurgronje yang diikuti oleh A.H. Johns, tafsir ini merupakan terjemahan dari Anwarul Tanzil Wa Asrarul Ta’wil karya Abdullah bin Umar bin Muhammad Asy-Syirazi Al-Baydhawi (w.1286). Namun, kesimpulan tersebut dibantah oleh Peter Riddle. Menurut Riddle, naskah Turjumanul Mustafid ini disusun berdasar gabungan dua hal. Pertama, sumber-sumbernya adalah gabungan. Ulasan jalan lain memberi sejumlah besar informasi penafsiran yang mengisi Turjumanul Mustafid. Sedangkan komentar-komentar Al-Baidhawi dan Al-Khazin digambarkan lebih sedikit. Kedua, naskah Turjumanul Mustafid merupakan karangan gabungan antara As-Singkili dan muridnya, Daud Rumi. As-Singkili menyusun pokok-pokok karangan, dengan menggunakan Jalalayn sebagai sumber naskahnya. Sementara itu, Daud Rumi menambahkan sisipan yang bersifat anekdot dan informasi tentang keragaman bacaan, yang diambil dari Al-Baidhawi, Al-Khazin dan sumber-sumber lain, termasuk Jalaiyn.
Terlepas dari polemik atas, kelahiran Turjumanul Mustafid telah memainkan peran sangat penting dalam sejarah intelektual di Indonesia. Selama hampir 300 tahun, Turjumanul Mustafid merupakan satu satunya komentar atau ulasan dalam bahasa Melayu tentang Al-Quran secara lengkap. Hal Senada juga diungkapkan oleh Anthony Johns. menurut A. H. Johns, karya Abdurrauf tersebut, dalam waktu yang lama, tetap merupakan satu-satunya tafsir Al-Qur'an yang lengkap dalam bahasa Melayu. Walaupun komentar-komentar lain dalam bahasa Melayu dan Indonesia telah muncul Selama 40 tahun terakhir, tetapi karya ini tidak kehilangan daya tariknya. Karya ini juga berperan dalam memajukan pemahaman lebih baik atas ajaran-ajaran Islam di Nusantara.[ Nur Huda, Islam Nusantara …, hal. 347]
Lalu, pada abad ke-19 M., muncul sebuah karya tafsir yang menggunakan bahasa Melayu-Jawi, yaitu Kitab Fara’id al-Qur’an. Tafsir ini tidak diketahui siapa penulisnya. Ditulis dalam bentuk yang sangat sederhana, dan tampak lebih sebagai artikel tafsir, sebab hanya terdiri dari dua halaman dengan huruf kecil dan spasi rangkap. Naskahnya masuk dalam sebuah buku koleksi beberapa tulisan ulama Aceh yang diedit oleh Isma’il bin ‘Abd al-Mutallib al-Ishi, Jami’ al-Jawami’ al-Musannafat: Majmu’ Beberapa Kitab Karangan Beberapa Ulama Aceh. Manuskrip buku ini disimpan di perpustakaan Universitas Amsterdam dengan kode katalog: Amst. IT.481/96 (2).
Karya ini kemudian diterbitkan di Bulaq. Objek penafsiran naskah ini adalah QS. al-Nisa’ [4]: 11 dan 12 yang berbicara tentang hukum waris. Keterangan yang diberikannya sederhana, tetapi lebih dari sekadar terjemah. Setelah memaparkan ayat tertentu, uraian selanjutnya selalu diawali dengan kata “tafsirnya”. Namun, karena tidak adanya data tentang penulisnya, kita kesulitan untuk menguraikannya lebih dalam.[ Islah Gusmian, Paradigma Penelitian …, hal. 2]
Pada abad ke-19 ini juga dijumpai literatur tafsir utuh yang ditulis ulama asal Indonesia, Muhammad bin Umar Al-Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (1813-97). Pada umur belasan tahun, dia pergi ke Arabia untuk naik haji. Selanjutnya, dia melangkahkan kakinya ke komunitas Jawi, dan tinggal di sana selama tiga tahun sebelum kembali ke Jawa. Dia kembali ke Makkah dan tinggal secara permanen di sana sekitar tahun 1855, mengembangkan karir sebagai guru, segera setelah menempuh studi lanjut di Mekkah, Mesir, dan Persia.
Karya ulama Al Nawawi dalam bidang tafsir adalah Marah Labid Lil Kasf Ma’na Al-Quran al-Majid. Tafsir ini merupakan komentar terhadap Al-Quran secara keseluruhan yang terdiri dari dua jilid. Tafsir yang ditulis dalam bahasa Arab ini, juga merupakan tafsir lengkap kedua yang ditulis oleh ulangan Melayu-Indonesia. Karya tulis pada 5 Rabi'ul Akhir 1305 H/1886 di Mekah.
Kitab tafsir Marah Labid mempunyai referensi ke beberapa kitab tafsir standar. Walaupu yang digunakan dalam penulisan Marah Labid ini adalah gabungan, tetapi sumber utamanya berasal dari Tafsir Al Kabir karya Fakhruddin ar-Razi (w. 1210).[ Nur Huda, Islam Nusantara …., hal. 351]
Karya tafsir besar lain yang lahir pada abad ini juga ditulis oleh seorang kawan Al-Nawawi Al-Bantani. Dia adalah Muhammad Shalih bin ‘Umar al-Samarani atau Kiai Saleh Darat (1820-1903). Karyanya yang erhubungan dengan Al-Quran adalah Kitab Tafsir Faid al-Rahman fi Tarjamah Tafsir kalam Malik al-Dayan dan Kitab Tajwid al-Quran. Berbeda dengan al-Nawawi yang menulis tafsirnya dengan bahasa Arab, sebaliknya Kiai Saleh Darat menuliskan tafsirnya dengan bahasa lokal. Kitab tafsir tersebut baru merupakan jilid pertama yang memuat lima surat, yaitu: Al-Fatihah, Al-Baqarah, Ali Imran, dan Al-Maidah yang ditulis dalam bahasa Jawa, dengan huruf pegon [ Huruf Pegon adalah huruf Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawa juga Bahasa Sunda. Kata Pegon konon berasal dari bahasa Jawa pégo yang berarti menyimpang. Sebab bahasa Jawa yang ditulis dalam huruf Arab dianggap sesuatu yang tidak lazim.].
Literatur yang digunakan dalam penulisan Tafsir Faid al-Rahman adalah Tafsir Mafatih Al-Ghaib yang lebih dikenal dengan Tafsir Al-Kabir karya Abu ‘Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Husaini bin Hasan bin al-Hasan bin ‘Ali al-Tamimi al-Tibrasy al-Razi, yang lebih dikenal dengan nama Fakhruddin Ar-Razi; Lubab Al-Ta’’Wil Fi Ma’Ani Al-Tanzil (Tafsir Al-Khazin) karya ‘Ala Al-Din ‘Ali Bin Muhammad Bin Ibrahim Al-Baghdadi Al-Khazin; Tafsir Ibn Kathir karya ‘Alal Al-Din Isma’Il Bin ‘Amr Bin Katsi Al-Faqih Al-Syafi’i; Tafsir Baydhawi atau Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’Wil karya Al-Baydhawi; Tafsir Jalalayn karya al-Mahalli dan al-Suyuthi; dan Tafsir Ruh al-Bayan karya Isma’il Haqqiy al-Bussiy. Tafsir Faid al-Rahman ini ditulis dengan model pendekatan Isyari.[ Nur Huda, Islam Nusantara …., hal. 355]
Adanya kitab tafsir ini membuktikan bahwa kesimpulan Howard M. Federspiel yang mengatakan sekitar awal abad ke 20 penerjemahan dan penafsiran didominasi oleh model Tafsir terpisah-pisah dan cenderung pada surat-surat tertentu sebagai objek tafsir salah. Fakta menunjukkan bahwa pada periode pertama sudah ada karya tafsir yang sudah merupakan penafsiran lengkap seperti Tarjuman al Mustafid karya 'Abd al-Ra'uf Singkel dan Marah Labid karya Shaykh Muhammad Nawawi.