Begini Cara Kitab Taurat Diturunkan Kepada Musa dari Bukit Thur

Ilustrasi suasana saat Musa berbicara dengan Allah diatas bukit Thursina
Kitab Taurat merupakan salah satu kitab Samawi yang diwahyukan kepada umat manusia khususnya teruntuk Bani Israil atau bangsa Yahudi. Cara Allah menurunkan Taurat sendiri berbeda dengan cara Allah turunkan Al-Quran. Taurat oleh Allah diturunkan pada suatu masa secara sekaligus, sedangkan Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur. Dalam Qiṣaṣul Anbiya` Ibn Kathir menceritakan bagaimana turunnya Taurat dan injil secara sekaligus pada suatu masa.

Kitab Taurat diterima oleh Musa As., pada saat beliau melakukan mīqāt selama empat puluh malam lamanya di bukit Thursina. Allah Swt., berfirman dalam surat Al-A’rāf/7: 145;

Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: "Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan". (142)

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman". (143)

Allah berfirman: "Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dan manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur". (144)

Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu; maka (Kami berfirman): "Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya, nanti Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang yang fasik. (145)

Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya. (146)

Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka kerjakan. (147)

Beberapa ulama salaf, diantaranya Ibnu Abbas, Masyruq dan Mujahid berkata, “Tiga puluh malam tersebut (yang disebutkan di dalam ayat di atas) adalah sebulan penuh bulan Dzulqa'dah dan disempurnakan menjadi 40 hari dengan adanya penambahan 10 hari pada bulan Dzulhijjah”.

Dengan demikian, firman Allah Swt., terhadap Musa As., itu terjadi tepat pada Hari Raya Qurban. Hal yang sama juga terjadi pada Nabi Muhammad Saw., yang pada hari itu Allah Swt., menyempurnakan agamanya (Islam), menegakkan hujjah dan tanda-tanda kebesaran-Nya.[1]

Di bukit Thur Nabi Musa As., berbicara langsung kepada Allah Swt., dalam munajatnya pada waktu yang telah ditentukan. Beliau bertanya kepada Tuhannya tertang berbagai macam masalah dan Tuhanpun memberikan jawabannya.

Allah Swt., berbicara dengan Musa As., diatas bukit Thursina dengan penghalang hijab atau tabir yang memisahkan Musa As., dengan dzat Allah Swt. Di dalam kitab Aṣ-Ṣaḥīḥain disebutkan suatu riwayat hadis dari Abu Musa, dari Rasulullah Saw., beliau bersabda, “Hijab-Nya berupa nur (cahaya)”. Menurut riwayat lainnya: “Hijab-Nya berupa nar (api). Jika hijab itu dibuka, wajah (orang yang melihatnya) akan terbakar. Tidak ada penglihatan makhluk yang dapat menjangkau-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim).[2]

Firman Allah Swt.,: “Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu” (QS. Al-A’rāf/7: 145). Lauh-lauh itu terbuat dari permata yang sangat berharga. Disebutkan didalam hadis shahih bahwa Allah Swt., menulis kitab Taurat dengan Tangan-Nya sendiri untuk Nabi Musa As. Di dalamnya berisi nasihat tentang segala sesuatu dan penjelasan dari segala sesuatu yang perlu diberikan penjelasan, baik yang berkaitan dengan yang halal maupun yang haram.[3] Lauh ini secara bahasa difahami sebagai tablet, yakni berupa lempengan yang mana ditulis diatasnya.

Pada masa munajat itu Allah Swt., tidak berbicara dengan Musa As., menggunakan bahasa Ibrani maupun dengan bahasa Arab. Hal ini sebagaimana yang direkam oleh Ibn Kathir dalam karyanya.

Menurut Ahli Kitab, saat itu Bani Israil juga mendengarkan kalam Allah yang berisi sepuluh perintah dan larangan itu, tetapi mereka tidak dapat memahaminya sehingga Musa As., memahamkan kepada mereka. Setelah itu, mereka berkata kepada Musa As., “Beritahukanlah kepada kami tentang Allah ‘azza wa jalla. Sesungguhnya, kami takut mati”. Akhirnya, Musa As., memberitahu mereka dan menyampaikan sepuluh kalimat yang berisi perintah dan larangan (Ten Commandments) itu kepada mereka:
  1. Perintah beribadah hanya kepada Allah yang Maha Esa dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
  2. Larangan bersumpah palsu atas nama Allah.
  3. Perintah menjaga hari sabtu. Maksudnya, mengosongkan sehari dalam seminggu pada hari sabtu khusus untuk beribadah. Akan tetapi, aturan hari sabtu itu kemudian dihapus dandiganti dengan hari jumat (bagi kita kaum Muslimin).
  4. Perintah memuliakan dan menghormati ibu dan bapak supaya berumur panjang dalam hidupnya di dunia sebagai anugrah dari Allah.
  5. Jangan membunuh.
  6. Jangan berzina.
  7. Jangan mencuri.
  8. Jangan memberikan kesaksian palsu.
  9. Jangan melepaskan pandangan secara liar kerumah saudaramu.
  10. Jangan menginginkan istri saudaramu, budak dan pembantu wanitanya, hewan dan kendaraanya, serta apa saja yang menjadi milik orang lain. Maksudnya, jangan iri dan dengki.
Banyak ulama dahulu dan ulama lainnya yang berkata bahwa sepuluh kalimat diatas itu terkandung di dalam beberapa ayat dari surah al-An’ām/6: 151-153 berikut:

Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). (151)

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. (152)

Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (153)

Mereka (Ahlul Kitab) menyebutkan bahwa di samping sepuluh kalimat tersebut, Musa As., juga mendapatkan banyak wasiat dan berbagai macam hukum.[4] Menurut Ahli Kitab, jumlah lauh yang dibawa Musa As., ada dua. Akan tetapi, al-Quran secara eksplisit menyebutkan bahwa lauh jumlahnya banyak.[5] 

__________
[1] Ibn Katsir, Kisah Para Nabi, Terj. Saefullah MS (Jakarta: Qisthi Press, 2015), hlm. 493.
[2] Ibn Katsir, Kisah Para Nabi, Terj. Saefullah MS (Jakarta: Qisthi Press, 2015), hlm. 494.
[3] Ibn Katsir, Kisah Para Nabi, Terj. Saefullah MS (Jakarta: Qisthi Press, 2015), hlm. 498.
[4] Ibn Katsir, Kisah Para Nabi, Terj. Saefullah MS (Jakarta: Qisthi Press, 2015), hlm. 488.
[5] Ibn Katsir, Kisah Para Nabi, Terj. Saefullah MS (Jakarta: Qisthi Press, 2015), hlm. 502.

Sumber http://www.zulfanafdhilla.com/

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel