Orang Tua Polos dan Sederhana Ini, Menyadarkanku Bagaimana Menjadi Seorang Guru
Friday, March 17, 2017
Salah satu manfaat dari media sosial adalah berbagi hal-hal baik kepada lingkungan media sosial kita, yang mudah-mudahan bisa kita praktekkan di dunia nyata.
Kisah nyata dari seorang teman guru yang bisa kita jadikan inspirasi atau motivasi menjadi guru yang profesional, mari kita simak kisah inspiratif yang sudah tersebar luas di media sosial, saya juga dapat dari facebook teman yang juga seorang guru.
Seperti biasa setiap pagi sebagai upaya pendidikan karakter di sekolah kami terjadwal bapak/ibu guru untuk berjabat tangan dengan para siswa secara bergantian.
Hal ini sebenarnya bukan hal baru atau terobosan yang spektakuler alias sudah lumrah dilakukan oleh sekolah-sekolah apalagi untuk tingkat SD dan SMP. Namun di SMA pun sekarang juga sudah membiasakan kegiatan ini berlangsung.
Saya yang kebetulan waktu itu ditugasi sebagai wakil kepala sekolah urusan kesiswaan tiap hari harus melaksanakan kegiatan jabat tangan berbarengan dengan bapak/ibu guru yang mendapat jadwal bertugas. Saya selalu menempatkan diri di paling ujung dekat pemberhentian para siswa yang diantar oleh orang tua atau siswa yang naik angkot.
Sekolah saya termasuk sekolah yang notabene favorit di tingkat kabupaten sehingga siswa kami memang mayoritas dari kalangan ekonomi menengah keatas [untuk tingkat kabupaten lho]. Pengantar ada yang menggunakan mobil mewah, sedang, naik angkot bahkan juga ada yang menggunakan sepeda motor buthut.
Buat saya sebenarnya tidak begitu memperhatikan kendaraan apa yang digunakan oleh siswa, yang terpenting adalah siswa datang ke sekolah tidak terlambat, makanya saya tidak pernah hiraukan secara khusus kendaraan apa yang digunakan oleh siswa [orang tua siswa].
Namun ada hal yang sangat menarik buat saya adalah ada orang tua mengantar anaknya menggunakan sepeda motor BMW [bebek merah warnanya] kira-kira buatan tahun1975. Setelah anaknya masuk di pintu gerbang sekolah orang tersebut lantas duduk di trotoar di samping sepeda motornya sambil menulis di buku kecil.
Semula saya juga tidak menaruh perhatian terhadap orang tersebut, pikirku beliau sedang merencanakan sesuatu kemudian ditulisnya. Namun karena hampir setiap hari orang ini selalu di tempat yang sama dengan kegiatan yang dilakukan juga hampir sama saya kemudian muncul rasa penasaran untuk tahu apa yang dilakukannya.
Suatu hari setelah saya selesai lakukan tugas jabat tangan lantas menedekati beliau sambil menanyakan nama, alamat dan juga putrinya kelas berapa...ya layaknya sebagi tuan rumah lah kira –kira begitu, sambil saya mengamati sepeda motor yang digunakan untuk mengantar putrinya.
Terlihat jelas di bagian depan sepeda motor ada bungkusan [bagor] terlihat isinya benda-benda keras.
Setelah jabat tangan dan kenalan kemudian saya beranikan diri bertanya:
Saya : “pak mohon maaf ya... saya kok setiap hari melihat bapak sehabis antarkan anak lalu duduk di sini sambil urak-urik... apa yang bapak lakukan?”
Beliau: “iya pak... anak saya itu dulu waktu di SMP selalu juara 1 dari kelas 1 sampe kelas 3 [waktu itu belum 7,8 dan 9 red.] saya kemudian menyekolahkan ke SMA ini karena kata orang sekolah ini favorit”
Saya : “lalu apa hubungannya dengan yang bapak lakukan tiap hari di sini?”
Beliau: ”pak... anak saya itu sudah piatu, hidup bersamaku dengan ala kadarnya, bungkusan di motor saya itu adalah daganganku berupa alat pertanian dan rumah tangga: arit, gathul, obeng cethok dll, itu yang saya gunakan untuk hidup dan menyekolahkan anakku, aku ingin anakku bisa memperbaiki nasib dan masa depannya jangan sampai nasib orang tuanya ini menurun ke anakku... makanya aku mati-matian menyekolahkan anakku ke SMA ini yang katanya favorit.... aku ingin buktikan benar nggak sekolah ini dapat membantu mengubah masa depan anakku...
setiap pagi aku menulis di buku kecil ini berisi tentang kedisiplinan guru, berapa banyak guru yang datang terlambat.... bagaimana mungkin bisa meraih prestasi sebaik mungkin kalau gurunya saja banyak yang datang molor... terus terang pak saya sangat berharap melalui sekolah ini masa depan anakku akan lebih baik dari aku... tolong pak sampaikan kepada kepala sekolah juga kepada bapak/ibu guru bahwa di luar sana [aku] sangat berharap banyak terhadap pendidikan di sekolah ini untuk mengantarkan masa depan anakku..”
Mendengar jawaban dan uraian harapan orang itu terasa ditampar mukaku, sesak rasa di dada dan seakan lunglai tiada tenaga. Apa yang disampaikan orang itu adalah salah satu saja dari sekian wakil orang tua siswa. Ingatanku tertuju pada anakku yang waktu itu juga masih SMP dan SD, jangan-jangan di sekolah anakku juga gurunya datang molor, tidak menguasai materi, dan tidak kompeten. Lalu bagaimana bisa mengantarkan cita-cita anakku kalau gurunya tidak kompeten? Jika itu yang terjadi di sekolah anakku demi Alloh aku tidak rela menyekolahkan anakku di sekolah itu.
Anganku kemudian tertuju pada diriku, seribu pertanyaan berkecamuk, bagaimana diriku, kedisplinanku, keteladananku, kompetensiku dan seterusnya dan saya yakin kalau orang tua siswa tahu bahwa di SMA ku gurunya tidak profesional mereka pun pasti tidak rela anaknya diajar oleh guru yang tidak profesional. Mungkin ini juga sama bahayanya dengan dokter yang salah mendiagnosa penyakit, mal praktek juga ada mal ngajar.
Percakapan kemudian saya lanjutkan.
Saya : “pak... tolong berikan masukan buat sekolah agar apa yang bapak harapkan bisa menjadi kenyataan”
Beliau :”maaf pak... di kelas anakku ada beberapa guru yang bagus menurut anakku [sambil menyebutkan namanya] tapi juga banyak guru yang masih memprihatinkan [sambil menyebutkan namanya juga]... saya mengucapkan trimakasih kepada bapak/ibu guru yang bagus semoga beliau dan keluarganya mendapat balasan dari Alloh atas kebaikannya dan saya juga mohon dengan hormat bapak/ibu guru yang belum bagus agar lebih baik [profesional:red], saya mohon pamit pak mau menjajakan dagangan saya... nuwun”
Saya:” baik pak... terima kasih telah memberikan masukan yang sangat berharga untuk saya dan sekolah...”
Saya masih belum beranjak dari tempat ngobrol tadi, sambil memandang beliau ngeslah “BMW” perasaan hatiku berkecamuk. Saya ingat kata-katanya : anaknya piatu, ingin memperbaiki masa depan, berharap sekolah bisa mengantarkannya, mendoakan guru yang sudah baik... Ya Alloh ya Robb... ampuni hambaMu ini... kami mendapat rezeki dari-MU yang saya gunakan untuk menafkahi keluargaku lantaran saya jadi guru... tapi apakah aku ini seorang guru yang sudah bisa memenuhi harapan orang tua siswa seperti harapan bapak tadi?
Bapak/ibu guru yang seprofesi denganku mari kita renungkan dan mari bersikap untuk lebih baik karena semua yang kita lakukan dan kita peroleh akan ada hitungannya di hari akhir. Mari berbagi hal-hal baik, agar semakin banyak hal baik di lingkungan kita.
Video pilihan khusus untuk Anda 💗 Pesan Bapak Anies Baswedan ketika menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sangat menginspirasi untuk para guru;
Sumber https://www.defantri.com/
Kisah nyata dari seorang teman guru yang bisa kita jadikan inspirasi atau motivasi menjadi guru yang profesional, mari kita simak kisah inspiratif yang sudah tersebar luas di media sosial, saya juga dapat dari facebook teman yang juga seorang guru.
Seperti biasa setiap pagi sebagai upaya pendidikan karakter di sekolah kami terjadwal bapak/ibu guru untuk berjabat tangan dengan para siswa secara bergantian.
Hal ini sebenarnya bukan hal baru atau terobosan yang spektakuler alias sudah lumrah dilakukan oleh sekolah-sekolah apalagi untuk tingkat SD dan SMP. Namun di SMA pun sekarang juga sudah membiasakan kegiatan ini berlangsung.
Saya yang kebetulan waktu itu ditugasi sebagai wakil kepala sekolah urusan kesiswaan tiap hari harus melaksanakan kegiatan jabat tangan berbarengan dengan bapak/ibu guru yang mendapat jadwal bertugas. Saya selalu menempatkan diri di paling ujung dekat pemberhentian para siswa yang diantar oleh orang tua atau siswa yang naik angkot.
Sekolah saya termasuk sekolah yang notabene favorit di tingkat kabupaten sehingga siswa kami memang mayoritas dari kalangan ekonomi menengah keatas [untuk tingkat kabupaten lho]. Pengantar ada yang menggunakan mobil mewah, sedang, naik angkot bahkan juga ada yang menggunakan sepeda motor buthut.
Buat saya sebenarnya tidak begitu memperhatikan kendaraan apa yang digunakan oleh siswa, yang terpenting adalah siswa datang ke sekolah tidak terlambat, makanya saya tidak pernah hiraukan secara khusus kendaraan apa yang digunakan oleh siswa [orang tua siswa].
Namun ada hal yang sangat menarik buat saya adalah ada orang tua mengantar anaknya menggunakan sepeda motor BMW [bebek merah warnanya] kira-kira buatan tahun1975. Setelah anaknya masuk di pintu gerbang sekolah orang tersebut lantas duduk di trotoar di samping sepeda motornya sambil menulis di buku kecil.
Semula saya juga tidak menaruh perhatian terhadap orang tersebut, pikirku beliau sedang merencanakan sesuatu kemudian ditulisnya. Namun karena hampir setiap hari orang ini selalu di tempat yang sama dengan kegiatan yang dilakukan juga hampir sama saya kemudian muncul rasa penasaran untuk tahu apa yang dilakukannya.
Suatu hari setelah saya selesai lakukan tugas jabat tangan lantas menedekati beliau sambil menanyakan nama, alamat dan juga putrinya kelas berapa...ya layaknya sebagi tuan rumah lah kira –kira begitu, sambil saya mengamati sepeda motor yang digunakan untuk mengantar putrinya.
Terlihat jelas di bagian depan sepeda motor ada bungkusan [bagor] terlihat isinya benda-benda keras.
Setelah jabat tangan dan kenalan kemudian saya beranikan diri bertanya:
Saya : “pak mohon maaf ya... saya kok setiap hari melihat bapak sehabis antarkan anak lalu duduk di sini sambil urak-urik... apa yang bapak lakukan?”
Beliau: “iya pak... anak saya itu dulu waktu di SMP selalu juara 1 dari kelas 1 sampe kelas 3 [waktu itu belum 7,8 dan 9 red.] saya kemudian menyekolahkan ke SMA ini karena kata orang sekolah ini favorit”
Saya : “lalu apa hubungannya dengan yang bapak lakukan tiap hari di sini?”
Beliau: ”pak... anak saya itu sudah piatu, hidup bersamaku dengan ala kadarnya, bungkusan di motor saya itu adalah daganganku berupa alat pertanian dan rumah tangga: arit, gathul, obeng cethok dll, itu yang saya gunakan untuk hidup dan menyekolahkan anakku, aku ingin anakku bisa memperbaiki nasib dan masa depannya jangan sampai nasib orang tuanya ini menurun ke anakku... makanya aku mati-matian menyekolahkan anakku ke SMA ini yang katanya favorit.... aku ingin buktikan benar nggak sekolah ini dapat membantu mengubah masa depan anakku...
setiap pagi aku menulis di buku kecil ini berisi tentang kedisiplinan guru, berapa banyak guru yang datang terlambat.... bagaimana mungkin bisa meraih prestasi sebaik mungkin kalau gurunya saja banyak yang datang molor... terus terang pak saya sangat berharap melalui sekolah ini masa depan anakku akan lebih baik dari aku... tolong pak sampaikan kepada kepala sekolah juga kepada bapak/ibu guru bahwa di luar sana [aku] sangat berharap banyak terhadap pendidikan di sekolah ini untuk mengantarkan masa depan anakku..”
Mendengar jawaban dan uraian harapan orang itu terasa ditampar mukaku, sesak rasa di dada dan seakan lunglai tiada tenaga. Apa yang disampaikan orang itu adalah salah satu saja dari sekian wakil orang tua siswa. Ingatanku tertuju pada anakku yang waktu itu juga masih SMP dan SD, jangan-jangan di sekolah anakku juga gurunya datang molor, tidak menguasai materi, dan tidak kompeten. Lalu bagaimana bisa mengantarkan cita-cita anakku kalau gurunya tidak kompeten? Jika itu yang terjadi di sekolah anakku demi Alloh aku tidak rela menyekolahkan anakku di sekolah itu.
Anganku kemudian tertuju pada diriku, seribu pertanyaan berkecamuk, bagaimana diriku, kedisplinanku, keteladananku, kompetensiku dan seterusnya dan saya yakin kalau orang tua siswa tahu bahwa di SMA ku gurunya tidak profesional mereka pun pasti tidak rela anaknya diajar oleh guru yang tidak profesional. Mungkin ini juga sama bahayanya dengan dokter yang salah mendiagnosa penyakit, mal praktek juga ada mal ngajar.
Percakapan kemudian saya lanjutkan.
Saya : “pak... tolong berikan masukan buat sekolah agar apa yang bapak harapkan bisa menjadi kenyataan”
Beliau :”maaf pak... di kelas anakku ada beberapa guru yang bagus menurut anakku [sambil menyebutkan namanya] tapi juga banyak guru yang masih memprihatinkan [sambil menyebutkan namanya juga]... saya mengucapkan trimakasih kepada bapak/ibu guru yang bagus semoga beliau dan keluarganya mendapat balasan dari Alloh atas kebaikannya dan saya juga mohon dengan hormat bapak/ibu guru yang belum bagus agar lebih baik [profesional:red], saya mohon pamit pak mau menjajakan dagangan saya... nuwun”
Saya:” baik pak... terima kasih telah memberikan masukan yang sangat berharga untuk saya dan sekolah...”
Saya masih belum beranjak dari tempat ngobrol tadi, sambil memandang beliau ngeslah “BMW” perasaan hatiku berkecamuk. Saya ingat kata-katanya : anaknya piatu, ingin memperbaiki masa depan, berharap sekolah bisa mengantarkannya, mendoakan guru yang sudah baik... Ya Alloh ya Robb... ampuni hambaMu ini... kami mendapat rezeki dari-MU yang saya gunakan untuk menafkahi keluargaku lantaran saya jadi guru... tapi apakah aku ini seorang guru yang sudah bisa memenuhi harapan orang tua siswa seperti harapan bapak tadi?
Bapak/ibu guru yang seprofesi denganku mari kita renungkan dan mari bersikap untuk lebih baik karena semua yang kita lakukan dan kita peroleh akan ada hitungannya di hari akhir. Mari berbagi hal-hal baik, agar semakin banyak hal baik di lingkungan kita.
Video pilihan khusus untuk Anda 💗 Pesan Bapak Anies Baswedan ketika menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sangat menginspirasi untuk para guru;