Contoh Soal Tentang Menentukan Tahap-Tahap Alur dalam Cerpen dan Kunci Jawabannya
Monday, August 15, 2016
Berikut ini Contoh Soal Tentang Menentukan Tahap-Tahap Alur dalam Cerpen. Lihat juga: Kumpulan Soal Essay Menentukan Unsur-Unsur Cerpen, Contoh Soal Essay Bahasa Indonesia Kelas 9
Bacalah kutipan cerpen berikut ini!
Meskipun setiap kali bisa panen, keuntungan hampir selalu tidak pernah berpihak kepadanya. Rumahnya hanya itu saja. Berdinding bambu reyot dan atapnya bocor di sana-sini. Keempat anaknya mogol, tidak lulus sekolah, dan hanya menjadi buruh tani, atau bekerja serabutan sekenanya. Keuntungan panen sudah dikeruk para tengkulak, hampir selalu, atau mengkin malah selalu, mengantongi keuntungan lebih besar ketimbang petani seperti dirinya.
Trimo mengedarkan pandangannya berkeliling. Bukit-bukit kapur gersang berdiri seperti tumpeng-tumpeng raksasa mengelilinga. Bukit-bukit kapur itu berdiri angkuh, tapi merana. Nyaris tanpa daun-daun hijau pepohonan. Mereka berdiri seakan-akan mengejek, atau justru menangisi nasip Trimo yang selalu kecingrangan.
Selau. Ya, selalu. Empat hari yang lalu saja, masih lekat benar di kepala Trimo, dua orang suruhan Pak Lurah datang ke rumahnya. Mestinya dia merasa bangga, utusan orang terhormat dan dituakan di desa itu mengunjungi rumanhnya yang reyot. Tapi tidak, kedatangan mereka justru membuahkan kesedihan dan tangis. Dengan sikap yang terkesan dingin dan angkuh, kedua utusan Pak Lurah itu meminta agar Trimo melepaskan tanah miliknya. Katanya ada bos besar dari Jakarta yang menghendaki tanahnya untuk membangun pabrik pengolahan batu kapur.
“Pak Trimo kan tahu, kami ini hanya utusan Pak Lurah. Bagaimana coba, kalau pulang-pulang kami tidak membawa hasil?” ujar salah seorang dengan nada pelan, namun dengan tatapan yang dirasakannya sangat menekan.
“Tapi saya...saya tidak berniat menjual tanah ini, Pak. Ini warisan turun-temurun dari ayah dan kakek saya,” ujar Trimo dengan bibir gemetar.
Salah seorang tamunya tersenyum dengan sudut bibirnya.
“Pak Trimo takut kuwalat, maksudnya?”
“Bagaimanapun, wewaler dari orang tua tidak boleh dilanggar...”
“Jadi kesimpulannya Pak Trimo Tidak mau melepaskan tanah sampeyan itu kan?” sahut salah seorang denga tiba-tiba, membuat pak trimo terhenyak, cemas.
“Bukan...bukan itu maksud sa...”
“Sudah, sudahlah. Pak Trimo mau jual atau tidak, tidak masalah, kok. Kami tinggal melapor saja pada Pak Lurah. Kami tidak mau rame, mudah kan?”
Trimo merasakan adanya ancaman dalam nada bicara orang itu. dari situ dia sudah bisa memperkirakan, kalau dia tetap tidak melepaskan tanahnya, sama saja nasip buruk baginya,. Bahkan seumur hidup. Bisa jadi seperti yang dialami tetangganya yang pernah membangkang permintaan lurah. Akhirnya untuk mengurus administrasi ini-itu saja selalu dipersulit. Padahal kehidupan ini seperti tidak lepas dari urusan surat menyurat. Mulai dari mengurus KTP, Kartu Keluarga, SIM kalau punya kendaraan, surat kelahiran, surat kematian, keringanan biaya berobat, dan macam-macam urusan lainnya yang notabene harus meminta tanda tangan Pak Lurah.
Begitulah, akhirnya Pak Trimo mengambil jalan aman. Demi kelanjutan nasip hidupnya, Trimo terpaksa melepaskan tanahnya, meski ganti ruginya sangatlah tidak layak dan tidak sesuai dengan harga tanah pada umumnya. Masih untung dia diberikan kesempatan menunggu hasil panen untuk tahun ini. Setelah masa panen besok, dia belum punya gambaran akan bekerja apa untuk menghidupi keluarganya.
Trimo terbangun dari lamunan panjang ketika rasa melilit-lilit itu sudah kembali menyerang perutnya. Gelas di sampingnya sudah nyaris kosong sejak tadi. Ditenggaknya teh yang tinggal sepertiga gelas. Rasa pahit mengguyur tenggorokannya. Pahit, sepahit nasibnya. Istrinya memang hampir tidak pernah menaburkan gula pasir ke dalam teh minumannya. Ngirit, katanya. Kalau mau manis, dia cukup mengunyah gula kelapa. Kalau pas ada, istrinya selalu menyertakan sepotong kecil gula kelapa di atas lepek kecil.
Trimo kembali mengedarkan pandangannya ke bukit yang terhampar di depannya. Selama ini dia telah bekerja keras membuat teras-teras di lerengnya, menanaminya dengan jagung, kacang, dan ketela. Dia telah menyandarkan hidupnya pada lereng bukit itu untuk hidup. Pandangan Trimo kabur akibat rasa lapar yang menggigit dan silau matahari yang menyengat.
Mungkin, mungkin inilah saat-saat terakhir kalinya dia mengerjakan tanah miliknya. Sejak saat ini pun, tanah ini bukan miliknya lagi. Usai panen depan, menurut Pak Lurah, di antara bukit-bukit kapur itu akan berdiri bangunan pabrik, dan batu-batu kapur di balik balik bukit itu pun akan dipangkas, dikuras sampai habis.
Bangkit dari duduknya, setengah terhuyung, Trimo berdiri menatap ke arah puncak bukit. Mungkin untuk terakhir kalinya. Beberapa saat kemudian dia berbalik, berjalan pulang. Dia sudah saatnya harus menyingkir. Menyingkir, entah ke mana.
Bacalah cerpen “Panen Terakhir”. Kemudian, tentukan hal-hal berikut!
Sumber http://basindon.blogspot.com/
Bacalah kutipan cerpen berikut ini!
"Panen Terakhir"
Meskipun setiap kali bisa panen, keuntungan hampir selalu tidak pernah berpihak kepadanya. Rumahnya hanya itu saja. Berdinding bambu reyot dan atapnya bocor di sana-sini. Keempat anaknya mogol, tidak lulus sekolah, dan hanya menjadi buruh tani, atau bekerja serabutan sekenanya. Keuntungan panen sudah dikeruk para tengkulak, hampir selalu, atau mengkin malah selalu, mengantongi keuntungan lebih besar ketimbang petani seperti dirinya.
Trimo mengedarkan pandangannya berkeliling. Bukit-bukit kapur gersang berdiri seperti tumpeng-tumpeng raksasa mengelilinga. Bukit-bukit kapur itu berdiri angkuh, tapi merana. Nyaris tanpa daun-daun hijau pepohonan. Mereka berdiri seakan-akan mengejek, atau justru menangisi nasip Trimo yang selalu kecingrangan.
Selau. Ya, selalu. Empat hari yang lalu saja, masih lekat benar di kepala Trimo, dua orang suruhan Pak Lurah datang ke rumahnya. Mestinya dia merasa bangga, utusan orang terhormat dan dituakan di desa itu mengunjungi rumanhnya yang reyot. Tapi tidak, kedatangan mereka justru membuahkan kesedihan dan tangis. Dengan sikap yang terkesan dingin dan angkuh, kedua utusan Pak Lurah itu meminta agar Trimo melepaskan tanah miliknya. Katanya ada bos besar dari Jakarta yang menghendaki tanahnya untuk membangun pabrik pengolahan batu kapur.
“Pak Trimo kan tahu, kami ini hanya utusan Pak Lurah. Bagaimana coba, kalau pulang-pulang kami tidak membawa hasil?” ujar salah seorang dengan nada pelan, namun dengan tatapan yang dirasakannya sangat menekan.
“Tapi saya...saya tidak berniat menjual tanah ini, Pak. Ini warisan turun-temurun dari ayah dan kakek saya,” ujar Trimo dengan bibir gemetar.
Salah seorang tamunya tersenyum dengan sudut bibirnya.
“Pak Trimo takut kuwalat, maksudnya?”
“Bagaimanapun, wewaler dari orang tua tidak boleh dilanggar...”
“Jadi kesimpulannya Pak Trimo Tidak mau melepaskan tanah sampeyan itu kan?” sahut salah seorang denga tiba-tiba, membuat pak trimo terhenyak, cemas.
“Bukan...bukan itu maksud sa...”
“Sudah, sudahlah. Pak Trimo mau jual atau tidak, tidak masalah, kok. Kami tinggal melapor saja pada Pak Lurah. Kami tidak mau rame, mudah kan?”
Trimo merasakan adanya ancaman dalam nada bicara orang itu. dari situ dia sudah bisa memperkirakan, kalau dia tetap tidak melepaskan tanahnya, sama saja nasip buruk baginya,. Bahkan seumur hidup. Bisa jadi seperti yang dialami tetangganya yang pernah membangkang permintaan lurah. Akhirnya untuk mengurus administrasi ini-itu saja selalu dipersulit. Padahal kehidupan ini seperti tidak lepas dari urusan surat menyurat. Mulai dari mengurus KTP, Kartu Keluarga, SIM kalau punya kendaraan, surat kelahiran, surat kematian, keringanan biaya berobat, dan macam-macam urusan lainnya yang notabene harus meminta tanda tangan Pak Lurah.
Begitulah, akhirnya Pak Trimo mengambil jalan aman. Demi kelanjutan nasip hidupnya, Trimo terpaksa melepaskan tanahnya, meski ganti ruginya sangatlah tidak layak dan tidak sesuai dengan harga tanah pada umumnya. Masih untung dia diberikan kesempatan menunggu hasil panen untuk tahun ini. Setelah masa panen besok, dia belum punya gambaran akan bekerja apa untuk menghidupi keluarganya.
Trimo terbangun dari lamunan panjang ketika rasa melilit-lilit itu sudah kembali menyerang perutnya. Gelas di sampingnya sudah nyaris kosong sejak tadi. Ditenggaknya teh yang tinggal sepertiga gelas. Rasa pahit mengguyur tenggorokannya. Pahit, sepahit nasibnya. Istrinya memang hampir tidak pernah menaburkan gula pasir ke dalam teh minumannya. Ngirit, katanya. Kalau mau manis, dia cukup mengunyah gula kelapa. Kalau pas ada, istrinya selalu menyertakan sepotong kecil gula kelapa di atas lepek kecil.
Trimo kembali mengedarkan pandangannya ke bukit yang terhampar di depannya. Selama ini dia telah bekerja keras membuat teras-teras di lerengnya, menanaminya dengan jagung, kacang, dan ketela. Dia telah menyandarkan hidupnya pada lereng bukit itu untuk hidup. Pandangan Trimo kabur akibat rasa lapar yang menggigit dan silau matahari yang menyengat.
Mungkin, mungkin inilah saat-saat terakhir kalinya dia mengerjakan tanah miliknya. Sejak saat ini pun, tanah ini bukan miliknya lagi. Usai panen depan, menurut Pak Lurah, di antara bukit-bukit kapur itu akan berdiri bangunan pabrik, dan batu-batu kapur di balik balik bukit itu pun akan dipangkas, dikuras sampai habis.
Bangkit dari duduknya, setengah terhuyung, Trimo berdiri menatap ke arah puncak bukit. Mungkin untuk terakhir kalinya. Beberapa saat kemudian dia berbalik, berjalan pulang. Dia sudah saatnya harus menyingkir. Menyingkir, entah ke mana.
Bacalah cerpen “Panen Terakhir”. Kemudian, tentukan hal-hal berikut!
- Jenis-jenis alur yang digunakan. Berikan pula alasan memilih jenis alur tersebut!
- Sebutkan tahap alurnya!
- Tunjukkan tahap-tahap alur dengan mengutip cerpen!
Sumber: Buku Panduan Pendidik Bahasa Indonesia IX