Pola Adat Perkawinan Bangsawan Sasak
Thursday, January 8, 2015
![]() |
Pola Adat Perkawinan Bangsawan Sasak |
BACA JUGA : Fiosofi yang Mendasari Adat perkawinan Bangsawan Sasak
BACA JUGA : Realitas Karakter Masyarakat Sasak Zaman Sekarang
BACA JUGA : Hubungan Nilai Budaya Sasak dengan Pancasila sebagai Karakter Bangsa Indonesia
BACA JUGA : Sistem Penanggalan Masyarakat Sasak Lombok '
BACA JUGA : Hubungan Sistem Penanggalan Sasak dengan Ilmu Astronomi
BACA JUGA : Fungsi Sistem Penanggalan Suku Sasak Lombok
Pola Adat Perkawinan Bangsawan Sasak - Berdasarkan hasil kajian dan wawancara terhadap beberapa nara sumber terkait dengan berbagai pola perkawinan bangsawan sasak, dapat dijelaskan bahwa perbedaan yang muncul ternyata tidak hanya antara kalangan bangsawan dengan masyarakat biasa, tetapi juga antar kalangan bangsawan itu sendiri.. Secara hirarkis dapat disebutkan bahwa golongan yang tertinggi sampai terendah dapat diuraikan sebagai berikut : :
BACA JUGA : Realitas Karakter Masyarakat Sasak Zaman Sekarang
BACA JUGA : Hubungan Nilai Budaya Sasak dengan Pancasila sebagai Karakter Bangsa Indonesia
BACA JUGA : Sistem Penanggalan Masyarakat Sasak Lombok '
BACA JUGA : Hubungan Sistem Penanggalan Sasak dengan Ilmu Astronomi
BACA JUGA : Fungsi Sistem Penanggalan Suku Sasak Lombok
Pola Adat Perkawinan Bangsawan Sasak - Berdasarkan hasil kajian dan wawancara terhadap beberapa nara sumber terkait dengan berbagai pola perkawinan bangsawan sasak, dapat dijelaskan bahwa perbedaan yang muncul ternyata tidak hanya antara kalangan bangsawan dengan masyarakat biasa, tetapi juga antar kalangan bangsawan itu sendiri.. Secara hirarkis dapat disebutkan bahwa golongan yang tertinggi sampai terendah dapat diuraikan sebagai berikut : :
a. Golongan I untuk gelar Raden dan Dende.
Raden adalah gelar anak laki-laki yang belum menikah, dan Dende adalah gelar anak perempuan yang belum menikah.
b. Golongan II untuk gelar Lalu dan Baiq. Lalu adalah sebutan untuk anak laki-laki yang belum menikah, dan bagi yang sudah menikah maka akan bergelar Mamiq. Baiq/Lale adalah sebutan untuk anak perempuan yang masih gadis, dan untuk yang sudah menikah akan bergelar Mamiq Lale.
c. Golongan III yaitu Berpare.
Berpare lahir dari perkawinan yang tidak disepakati pada perkawinan upacara adat.Ketiga golongan di atas disebut Triwangse.
d. Golongan IV yaitu Jajar karang / Luput.Jajar atau Luput adalah golongan untuk masyarakat biasa atau rakyat.
Berdasarkan tingkatan itu pula, maka terbentuk pola pola tertentu ketika terjadi perkawinan antara tingkatan yang satu dengan tingkatan yang lainnya. Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, terdapat sekurang-kurangnya delapan pola yang terbentuk ( M. Yamin dan Ahmad). Secara singkat dapat dipaparkan pola perkawinan bangsawan Sasak sebagai berikut :
a. Jika seorang Raden dan Dende menikah, maka keturunannya akan bergelar Raden untuk anak lakilaki dan Dende untuk anak perempuan
b. Jika seorang Raden dan Baiq menikah, maka keturunannya akan bergelar Lalu untuk anak laki-laki dan Baiq untuk sebutan bagi anak perempuan
c. Jika Raden dan Jajar Karang menikah, maka keturunannya akan bergelar Lalu untuk anak aki-laki dan Baiq untuk anak perempuan
d. Jika Dende dan Luput/Jajar Karang menikah, maka keturunannya akan bergelar atau berkedudukan Jajar Karang baik untuk anak laki-laki maupun anak perempuan.
e. Jika seorang Lalu dan Baiq menikah maka keturunannya akan bergelar Lalu untuk anak laki laki dan Baiq untuk anak perempuan
f. Jika seorang Lalu dan Jajar karang menikah maka keturunannya akan bergelar Lalu untuk anak laki-laki dan Baiq untuk anak perempuan.
g. Jika seorang Dende dan Lalu menikah maka keturunannya akan bergelar Lalu untuk anak laki laki dan Baiq untuk anak perempuan
h. Jika Jajar Karang dan Baiq menikah maka keturunannya akan bergelar Jajar Karang.
Berikut ini digambarkan kombinasi pola perkawinan bangsawan Sasak dalam bentuk table sebagai berikut :
NO | POLA PERKAWINAN BANGSAWAN SASAK | KETERANGAN | |||
KOMBINASI PERKAWINAN | HASIL PERKAWINAN | ||||
Lk | Pr | Lk | Pr | ||
1 2 3 4 5 6 7 8 | Raden Raden Raden Lalu Lalu Lalu Lalu Jajar Karang | Dende Baiq Jajar karang Dende Jajar Karang Baiq Baiq Dende, Baiq | Raden Lalu Lalu Lalu Lalu Lalu Lalu Jajar karang | Dende Baiq Baiq Baiq Baiq Baiq Baiq Jajar karang | Tetap Turun/sangsi ringan Turun/ sangsi ringan Tetap untuk Lk, Turun untuk Pr. Tetap Untuk Lk, naik untuk Pr. Tetap Tetap Turun, Mendapat sangsi berat (Beteteh / dibuang ) |
Berdasarkan pola-pola tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa jika golongan Raden bertemu / kawin dengan dende, maka keturunannya tetap menjadi Raden dan Dende. Posisi kebangsawanannya tetap, disebabkan karena keduanya memiliki kesetaraan sehingga keturunannya tidak berubah atau tidak mendapat hukuman adat .Pola seperti ini nampaknya selalu sama untuk semua tingkatan mulai dari tingkatan yang paling tinggi sampai pada tingkatan yang paling rendah
Selanjutnya, jika terjadi ketidaksetaraan antara pihak laki-laki dan perempuan, maka yang menjadi patokan adalah keturunan dari pihak laki-laki. Dalam persoalan seperti ini banyak pola yang dapat dijelaskan, seperti jika Raden kawin dengan Baiq atau Lale, Raden kawin dengan Jajar Karang, Dende kawin dengan Lalu, Dende kawin dengan Jajar Karang, Lalu kawin dengan Dende, dan Lalu kawin dengan Jajar Karang Dalam hal inilah berlaku sistem patralinial, dimana pihak laki-laki adalah pihak yang menetukan. Laki-laki dianggap sebagai pihak yang memilliki hak yang lebih besar untuk meneruskan keturunan mereka, sehingga posisi perempuan seolah-olah selalu berada dibawah laki-laki. Dengan sistem ini, hak laki-laki menjadi lebih besar dibandingkan dengan hak perempuan.Oleh karena itu ketika perempuan dari kalangan bangsawan seperti Dende, Baiq atau Lale kawin dengan orang yang kedudukannya lebih rendah; seperti kawin dengan kalangan Jajar Karang, maka posisi kebangsawanan perempuan dan keturunannya menjadi hilang dan dianggap sebagai orang yang melakukan pelangggaran berat terhadap adat. Sebagai hukuman terhadap perempuan yang melakukan pelanggaran terhadap adat, maka diberlakukanlah hukum beteteh ( Pembuangan ). Lain halnya jika bangsawan dari pihak laki-laki seperti Raden ataupun Lalu kawin dengan orang yang bukan dari kalangan bangsawan ( Jajar Karang ), maka kebangswanannya tetap melekat pada pihak laki-laki termasuk juga keturunannya.
Meskipun demikian, dalam beberapa hal, pola patralinial yang berlaku pada masyarakat Sasak ini ternyata tidak konsisten, M. Yamin. (Wawancara tanggal 20 juni 2010 ). Pada pola kedua misalnya, ketika Raden kawin dengan Lale atau Baiq, ternyata keturunannya bukan Raden atau Dende melainkan muncul Lalu, Baiq atau Lale. Pada pola ini jelas kelihatan bahwa garis penentu keturunan adalah pihak perempuan. Dapat juga dikatakan bahwa pada pola ini garis keturunan berikutnya menjadi menurun satu tingkat, dan inilah yang masuk dalam kategori hukuman ringan dan dalam istilah sasaknya disebut Tesenger.
Dalam hal hukuman yang diterapkan bagi pelanggar adat, seperti yang telah disebutkan di atas, biasanya ada dua jenis hukuman yaitu hukuman berat yang disebut dengan beteteh dan hukuman ringan yang disebut tesenger. Pelaksanaan beteteh atau tesenger ini sebagaimana diungkapkan oleh Lalu Thamrin mengatakan bahwa :
Ada dua bentuk hukuman yang biasanya dilakukan jika terkena pelanggaran adat atau citre, yaitu hukuman berat berupa beteteh dan hukuman ringan atau tesenger…yang paling berat itu adalah beteteh tejual mateq, artinya pihak perempuan tersebut di samping kebangsawanannya hilang, juga hubungan silaturrahmi dengan keluarga putus dunia akhirat, meskipun demikian ada juga kadang yang masih diperbolehkan pulang, tetapi statusnya sebagai inan pawon. Anda tahu kan arti inan pawon? ia tidak lebih seperti orang luar yang tidak punya hak ikut campur dalam masalah keluarga, bahkan sama kedudukannya dengan pembantu. Tidak ada hak bersuara atau ikut dalam pengambilan keputusan. dalam keluarga tersebut. Proses perkawinan tersebut juga tidak diacarkan, kecuali acara beteteh itu sendiri. ( Wawancara, 25 Juni 2010 )
Dari pendapat di atas, dapat dijelaskan bahwa hukuman berat yang berupa beteteh tejual mateq adalah hukuman pemutusan hubungan silaturrahmi dunia akhirat antara anak perempuan dengan keluarganya; yang menurut kesepakatan adat telah melanggar adat atau citre yang disepakati dalam komunitas adat tersebut. Dengan adanya pemutusan hubungan silaturrahmi, otomatis hak-hak yang dulunya melekat sebagai anak akan hilang. Kalaupun dia diberikan kesempatan untuk pulang, maka kepulangannya hanya sebatas layaknya orang luar yang berkunjung, bahkan statusnya tidak lebih sebagai pembantu di rumahnya sendiri.
Dalam beberapa kasus, aturan yang diberlakukan bagi yang terkena hukuman beteteh ini malah lebih berat. Melalui prosesi beteteh tersebut, mereka tidak diperkenankan lagi untuk pulang menjenguk kedua orang tuanya meskipun dengan alasan apapun. Banyak fakta yang menunjukkan bahwa perempuan bangsawan Sasak yang terkena hukuman beteteh tidak dapat bertemu dengan kedua orang tuanya sampai ajal menjemputnya.