Menuju 2012, Badai Matahari dan Dunia Tanpa Internet
Tuesday, January 3, 2012
Ditengah maraknya isu kiamat yang diramal suku Maya akan terjadi tanggal 21 Desember 2012, sudah cukup meresahkan. Kini berkembang pula analisa tentang kemungkinan terjadinya tsunami Matahari atau disebut juga badai Matahari pada tahun 2012. Isu tersebut makin meresahkan plus merisaukan masyarakat.
Sebagai ummat beragama, tentu semua isu itu sepenuhnya berada dalam kekuasaan Sang Khalik. Kalau Dia berkehendak, maka semuanya dapat terjadi. Sebagai manusia biasa, kita wajib berikhtiar dan belajar. Kita hendaknya tidak berpasrah diri terhadap isu tersebut, tetapi harus mempelajari apa sesungguhnya yang sedang dan akan terjadi di alam semesta ini.
Apa sebenarnya Badai Matahari? Kompasianer juga bingung, karena sangat awam terhadap istilah Badai Matahari. Oleh karena sering diulas di televisi dan media massa, berarti isu ini penting dan bukan khayalan. Kompasianer mencoba mencari informasi itu di situs pencari Google, dan banyak informasi ditemukan. Salah satu sumber informasi menarik adalah yang ditulis Yuni Ikawati di Kompas.com tanggal 26 Nopember 2008.
Dalam tulisannya, Yuni mengulas pendapat Sri Kolaka, Kapus Pemanfaatan Sains Antariksa Lapan. Disebutkan, badai Matahari terjadi ketika muncul flare dan Coronal Mass Ejection (CME). Flare adalah ledakan besar di atmosfer Matahari yang dayanya setara dengan 66 juta kali ledakan bom atom Hiroshima. Adapun CME merupakan ledakan sangat besar yang menyebabkan lontaran partikel berkecepatan 400 Km per detik.
Lalu setelah ledakan itu, apa yang terjadi. Sri Kolaka menambahkan gangguan cuaca Matahari ini dapat mempengaruhi kondisi muatan antariksa hingga mempengaruhi magnet bumi, selanjutnya berdampak pada sistem kelistrikan, dan transportasi yang mengandalkan sistem navigasi GPS dan sistem komunikasi yang menggunakan satelit komunikasi dan gelombang frekuensi tinggi (HF), serta dapat membahayakan kehidupan dan kesehatan manusia.
Membaca penjelasan tersebut, bergidik juga bulu roma kita. Mengerikan bila badai Matahari benar-benar terjadi. Barangkali prosesnya seperti dinosaurus dimusnahkan dari muka bumi, atau seperti proses hilangnya kota atlantis. Kalaupun kita masih hidup setelah dilanda badai Matahari, kehidupan manusia akan kembali seperti zaman pra-sejarah. Hidup di gua-gua, tanpa listrik dan tanpa alat komunikasi, hanya menggunakan peralatan batu untuk bertahan hidup. Benarkah ini?
Hasil penelitian dan lompatan teknologi yang sudah pernah dicapai, sangat mungkin ikut musnah bersama gelombang panas yang menyertai badai Matahari. Handphone, telepon, internet dan media jejaring sosial yang selama ini telah menghubungkan manusia dengan manusia lain di muka bumi ini, sangat mungkin ikut hancur pula bersama terganggunya sistem kelistrikan dan sistem komunikasi.
Bagaimana membayangkan dunia tanpa listrik dan komunikasi? Hilangkah tulisan-tulisan dan informasi yang telah kita simpan di email, website, atau di media jejaring sosial? Dengan cara apa menyimpan informasi, formula-formula keilmuan dan teknologi kepada mereka yang selamat dari badai Matahari ini? Haruskah informasi itu ditulis di batu, prasasti, buku tahan api atau lempengan logam tahan panas?
Pertanyaan-pertanyaan itu yang perlu diperhatikan dan dicermati oleh semua pihak dalam mengantisipasi kemungkinan terburuk pasca badai Matahari yang diperkirakan ilmuan akan terjadi. Kalaupun nantinya kita, atau para ilmuan tidak selamat dalam menghadapi badai Matahari itu, sekurang-kurangnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah mampu kita capai harus dapat diwariskan kepada generasi yang selamat dari badai itu.
Mudah-mudahan kemungkinan ini mendapat perhatian semua orang. Manusia hendaknya tidak terpaku kepada kekhawatiran dan ketakutan akan dampak badai Matahari. Tubuh boleh mati dan punah, tetapi ilmu dan hasil karya hendaknya dapat dipelajari oleh orang lain. Semuanya mari kita kembalikan kepada Sang Khalik Yang Maha Kuasa, kita ini hanya manusia yang lemah dan kecil. Wallahualam bissawab.
Sumber : Syukri Muhammad Syukri ( Kompasiana )
Sebagai ummat beragama, tentu semua isu itu sepenuhnya berada dalam kekuasaan Sang Khalik. Kalau Dia berkehendak, maka semuanya dapat terjadi. Sebagai manusia biasa, kita wajib berikhtiar dan belajar. Kita hendaknya tidak berpasrah diri terhadap isu tersebut, tetapi harus mempelajari apa sesungguhnya yang sedang dan akan terjadi di alam semesta ini.
Apa sebenarnya Badai Matahari? Kompasianer juga bingung, karena sangat awam terhadap istilah Badai Matahari. Oleh karena sering diulas di televisi dan media massa, berarti isu ini penting dan bukan khayalan. Kompasianer mencoba mencari informasi itu di situs pencari Google, dan banyak informasi ditemukan. Salah satu sumber informasi menarik adalah yang ditulis Yuni Ikawati di Kompas.com tanggal 26 Nopember 2008.
Dalam tulisannya, Yuni mengulas pendapat Sri Kolaka, Kapus Pemanfaatan Sains Antariksa Lapan. Disebutkan, badai Matahari terjadi ketika muncul flare dan Coronal Mass Ejection (CME). Flare adalah ledakan besar di atmosfer Matahari yang dayanya setara dengan 66 juta kali ledakan bom atom Hiroshima. Adapun CME merupakan ledakan sangat besar yang menyebabkan lontaran partikel berkecepatan 400 Km per detik.
Lalu setelah ledakan itu, apa yang terjadi. Sri Kolaka menambahkan gangguan cuaca Matahari ini dapat mempengaruhi kondisi muatan antariksa hingga mempengaruhi magnet bumi, selanjutnya berdampak pada sistem kelistrikan, dan transportasi yang mengandalkan sistem navigasi GPS dan sistem komunikasi yang menggunakan satelit komunikasi dan gelombang frekuensi tinggi (HF), serta dapat membahayakan kehidupan dan kesehatan manusia.
Membaca penjelasan tersebut, bergidik juga bulu roma kita. Mengerikan bila badai Matahari benar-benar terjadi. Barangkali prosesnya seperti dinosaurus dimusnahkan dari muka bumi, atau seperti proses hilangnya kota atlantis. Kalaupun kita masih hidup setelah dilanda badai Matahari, kehidupan manusia akan kembali seperti zaman pra-sejarah. Hidup di gua-gua, tanpa listrik dan tanpa alat komunikasi, hanya menggunakan peralatan batu untuk bertahan hidup. Benarkah ini?
Hasil penelitian dan lompatan teknologi yang sudah pernah dicapai, sangat mungkin ikut musnah bersama gelombang panas yang menyertai badai Matahari. Handphone, telepon, internet dan media jejaring sosial yang selama ini telah menghubungkan manusia dengan manusia lain di muka bumi ini, sangat mungkin ikut hancur pula bersama terganggunya sistem kelistrikan dan sistem komunikasi.
Bagaimana membayangkan dunia tanpa listrik dan komunikasi? Hilangkah tulisan-tulisan dan informasi yang telah kita simpan di email, website, atau di media jejaring sosial? Dengan cara apa menyimpan informasi, formula-formula keilmuan dan teknologi kepada mereka yang selamat dari badai Matahari ini? Haruskah informasi itu ditulis di batu, prasasti, buku tahan api atau lempengan logam tahan panas?
Pertanyaan-pertanyaan itu yang perlu diperhatikan dan dicermati oleh semua pihak dalam mengantisipasi kemungkinan terburuk pasca badai Matahari yang diperkirakan ilmuan akan terjadi. Kalaupun nantinya kita, atau para ilmuan tidak selamat dalam menghadapi badai Matahari itu, sekurang-kurangnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah mampu kita capai harus dapat diwariskan kepada generasi yang selamat dari badai itu.
Mudah-mudahan kemungkinan ini mendapat perhatian semua orang. Manusia hendaknya tidak terpaku kepada kekhawatiran dan ketakutan akan dampak badai Matahari. Tubuh boleh mati dan punah, tetapi ilmu dan hasil karya hendaknya dapat dipelajari oleh orang lain. Semuanya mari kita kembalikan kepada Sang Khalik Yang Maha Kuasa, kita ini hanya manusia yang lemah dan kecil. Wallahualam bissawab.
Sumber : Syukri Muhammad Syukri ( Kompasiana )