Buku Kajian Pemenuhan Beban Kerja Guru
Tuesday, July 16, 2019
Berikut ini adalah berkas Buku Kajian Pemenuhan Beban Kerja Guru. Download file format PDF. Buku Kajian Pemenuhan Beban Kerja Guru ini diterbitkan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Buku Kajian Pemenuhan Beban Kerja Guru |
Buku Kajian Pemenuhan Beban Kerja Guru
Berikut ini kutipan teks/keterangan dari isi berkas Buku Kajian Pemenuhan Beban Kerja Guru:
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter telah menyerahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah untuk melaksanakan Kebijakan Lima Hari Sekolah (LHS) bagi yang telah siap. Hingga saat ini cukup banyak sekolah yang menerapkan LHS. Namun demikian dengan penerapan LHS, guru masih banyak yang belum memenuhi beban kerja minimal guru yaitu 24 JTM per minggu. Kajian ini berupaya untuk merekomendasikan kebijakan yang dapat digunakan guru untuk memenuhi tuntutan beban kerja minimal guru yaitu 24 JTM per minggu dalam rangka pemenuhan persyaratan penerimaan Tunjangan Profesi Guru (TPG). Kajian ini menganalisis data-data sekunder tentang jumlah beban kerja guru serta regulasi-regulasiyang mengaturnya. Hasil kajian ini juga diperkaya dari Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) sebagai eksplorasi mendalam di empat lokasi yang dipilih secara purposif. Kajian ini menyimpulkan bahwa: (i) rerata JTM guru yang mengajar di dua sekolah adalah 14,6 JTM/ minggu di sekolah induk, dan 12,3 JTM/minggu di sekolah lain, (ii) Pemerintah daerah umumnya tidak membuat kebijakan khusus untuk membantu guru memenuhi beban kerja minimalnya, (iii) Kepala sekolah cenderung memberi prioritas kepada gurunya yang sudah mendapat sertifikat pendidik agar mengajar minimal 24 JTM/minggu sehingga membuka kesempatan mendapat TPG, dan (iv) kendala yang dihadapi guru dalam memenuhi tuntutan beban kerja minimal antara lain banyak kegiatan pembimbingan yang menjadi tugas pokok dan fungsi guru (Tupoksi) guru yang belum diakui ekuivalen dengan JTM tertentu seperti kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan remedial/pengayaan dan sebagainya. Semoga hasil kajian ini dapat memberikan masukan kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah dalam merumuskan kebijakan tentang profesionalisme guru.
Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud), Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun 2018 menerbitkan Buku Laporan Hasil Penelitian yang telah dilakukan pada tahun 2017. Penerbitan buku laporan hasil penelitian ini dimaksudkan untuk menyebarluaskan hasil penelitian kepada berbagai pihak yang berkepentingan dan sebagai salah satu upaya untuk memberikan manfaat yang lebih luas dan wujud akuntabilitas publik.
Hasil penelitian ini telah disajikan di berbagai kesempatan secara terbatas, sesuai dengan kebutuhannya. Buku ini sangat terbuka untuk mendapatkan masukan dan saran dari berbagai pihak. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi para pengambil kebijakan dan referensi bagi pemangku kepentingan lainnya dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan kebudayaan.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter telah menyerahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah untuk melaksanakan Kebijakan Lima Hari Sekolah (LHS) bagi yang telah siap. Hingga saat ini cukup banyak sekolah yang menerapkan LHS. Namun demikian dengan penerapan LHS, guru masih banyak yang belum memenuhi beban kerja minimal guru yaitu 24 JTM per minggu. Kajian ini berupaya untuk merekomendasikan kebijakan yang dapat digunakan guru untuk memenuhi tuntutan beban kerja minimal guru yaitu 24 JTM per minggu dalam rangka pemenuhan persyaratan penerimaan Tunjangan Profesi Guru (TPG).
Kajian ini menganalisis data-data sekunder tentang jumlah beban kerja guru serta regulasi-regulasiyang mengaturnya. Hasil kajian ini juga diperkaya dari Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) sebagai eksplorasi mendalam di empat lokasi yang dipilih secara purposif. Kajian ini menyimpulkan bahwa: (i) rerata JTM guru yang mengajar di dua sekolah adalah 14,6 JTM/minggu di sekolah induk, dan 12,3 JTM/minggu di sekolah lain, (ii) Pemerintah daerah umumnya tidak membuat kebijakan khusus untuk membantu guru memenuhi beban kerja minimalnya, (iii) Kepala sekolah cenderung memberi prioritas kepada gurunya yang sudah mendapat sertifikat pendidik agar mengajar minimal 24 JTM/minggu sehingga membuka kesempatan mendapat TPG, dan (iv) kendala yang dihadapi guru dalam memenuhi tuntutan beban kerja minimal antara lain banyak kegiatan pembimbingan yang menjadi tugas pokok dan fungsi guru (Tupoksi) guru yang belum diakui ekuivalen dengan JTM tertentu seperti kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan remedial/pengayaan dan sebagainya.
Semoga hasil kajian ini dapat memberikan masukan kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah dalam merumuskan kebijakan tentang profesionalisme guru.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Permasalahan
Sejak tahun 2016 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mulai mencanangkan implementasi kebijakan tentang Lima Hari Sekolah (LHS). Dengan kebijakan LHS ini guru harus bekerja 37,5 jam efektif per minggu sebagaimana layaknya pegawai negeri sipil, seperti yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995 untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu untuk PNS. Tentunya dalam bekerja perlu ada istirahat sehingga ditetapkan lama kerja PNS per minggu adalah 40 jam, terdiri atas 37,5 jam kerja efektif per minggu dan 2,5 jam istirahat per minggu.
Salah satu tujuan dari kebijakan LHS bagi guru adalah agar guru dapat memenuhi beban kerja minimalnya yaitu 24 Jam Tatap Muka (JTM) per minggu, sehingga bagi guru yang sudah mendapat sertifikat pendidik mendapatkan haknya untuk menerima Tunjangan Profesi Guru (TPG). Jadi LHS dapat menjadi solusi bagi guru agar tidak mengalami kesulitan mencari tambahan jam mengajar untuk memenuhi syarat mendapatkan TPG (Indahri, 2017). Tentunya LHS ini merupakan solusi yang baik khususnya bagi guru yang tidak dapat memenuhi beban kerja minimal yaitu 24 JTM per minggu, seperti juga disampaikan oleh Indahri (2017), bahwa guru dapat dibantu dengan konversi jam dalam pelaksanaan tugas terkait pendidikan saat delapan jam belajar per hari di sekolah, salah satu contohnya menjadi Pembina Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Tentang tugas-tugas tambahan dan tugas-tugas pembimbingan guru yang dapat dikonversi menjadi sejumlah Jam Tatap Muka (JTM) tertentu diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang ekuivalensi kegiatan pembelajaran/pembimbingan bagi guru yang bertugas pada SMP/SMA/SMK yang melaksanakan Kurikulum 2013 pada semester pertama menjadi Kurikulum Tahun 2006 pada semester kedua tahun pelajaran 2014/2015. Sayangnya masa berlaku Permendikbud Nomor 4 tahun 2015 ini telah berakhir, karena pada Pasal 4 Permendikbud ini dimuat tentang berakhirnya diberlakukan Permendikbud tersebut. Bunyi Pasal 4 Permendikbud tersebut: Pemenuhan beban mengajar melalui ekuivalensi kegiatan pembelajaran/pembimbingan berlaku sampai dengan 31 Desember 2016. Dengan demikian maka jika LHS mulai diberlakukan maka perlu dihidupkan kembali Permendikbud tersebut, atau ada strategi baru yang ditempuh agar kegiatan pembelajaran dan pembimbingan guru untuk menyelenggarakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) melalui LHS dapat diakui menjadi cara bagi guru untuk memenuhi beban kerja minimalnya yaitu 24 JTM per minggu. Ketika Permendikbud tersebut dihapus, tentunya guru harus kembali mencari cara untuk memenuhi beban kerja minimalnya. Salah satu cara yang selama ini ditempuh adalah dengan mengajar di beberapa sekolah. Berikut ini disajikan data dari Ditjen GTK 2017 yang menunjukkan bahwa masih banyak guru khususnya PNS yang mengajar pada lebih dari satu sekolah.
Dari sumber data Sumber data Ditjen GTK 2017, bahwa Provinsi Jawa Timur memiliki guru SMPPNS yang terbanyak yang mengajar lebih dari satu sekolah yaitu sebanyak 3.209 guru. Sebaliknya, Provinsi Kalimantan Utaramemiliki guru SMPPNS yang paling sedikit mengajar pada lebih dari satu sekolah yaitu hanya 34 guru. Secara nasional terlihat bahwa sebanyak 25.820 guru PNS SMP yang harus mengajar di dua sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa banyak guru kesulitan memenuhi beban kerja minimalnya dengan hanya mangajar di satu sekolah saja. Mereka harus memenuhinya dengan mengajar di lebih dari satu sekolah. Berikut ini disajikan rerata JTM guru SMP per minggu di sekolah induk dan di sekolah lainnya di seluruh provinsi di Indonesia khusus guru yang mengajar di lebih dari satu sekolah.
Rerata JTM guru di sekolah induk bagi guru yang mengajar di dua sekolah adalah 14,6JTM/ minggu, artinya bahwa banyak guru tidak akanmendapat TPG jika hanya mengajar di sekolah induk saja, karena beban kerjanyakurang dari 24 JTM/minggu.Terlihat bahwa Provinsi Kalimantan Utara merupakan provinsi dengan rerata JTM terendah di sekolah induk untuk kasus guru mengajar di dua sekolah yaitu hanya 12,3JTM/minggu, sedangkan Provinsi Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan rerata JTM tertinggi di sekolah induk yaitu sebesar 15,5JTM/minggu. Dengan demikian, guru-guru ini memang harus mengajar di sekolah lain untuk dapat memenuhi beban kerja minimalnya. Terlihat bahwa rerata JTM guru di sekolah lain untuk kasus guru yang mengajar di dua sekolah adalah sebesar 12,3 JTM/ minggu, artinya ketika dijumlah dengan rerata JTM per minggu di sekolah induk, maka beban kerja guru-guru ini telah mencapai tuntutan JTM minimal yaitu 24 JTM/minggu (sudah teratasi: mengajar di sekolah lain). Jadi solusi yang banyak dipakai untuk memenuhi beban kerja guru adalah mengajar di sekolah lain. Hanya saja mengajar di sekolah lain banyak menimbulkan permasalahan juga sebagaimana temuan studi terdahulu.
Studi tentang pemenuhan Beban Kerja Guru tahun 2016 di Puslitjakdibud menemukan bahwa terdapat permasalahan-permasalahan berikut ketika guru harus mengajar pada lebih dari satu sekolah.
a. Harus bersaing dengan guru lainnya yang juga mencari JTM tambahan
b. Harus mengeluarkan biaya ekstra baik tenaga maupun dana untuk mencapai sekolah lain
c. Resiko terjadi kecelakaan cukup tinggi karenaguru harus melakukan perjalanan dengan berbagai hambatannya misalnya harus menyeberang sungai atau laut, mendaki bukit/tanjakan dan sebagainya
d. Berpotensi menyebabkan kelelahan bagi guru karena harus melakukan perjalanan
e. Guru kehilangan waktu untuk mempersiapkan pembelajaran keesokan hari
f. Waktu guru untuk mengurus keluarganya juga berkurang terlebih kaitan dengan pendidikan anak-anaknya
g. Guru tidak memiliki waktu untuk mengembangkan diri misalnya meningkatkan kompetensinya dengan mengikuti kegiatan KKG/MGMP dan sebagainya
Oleh karena adanya permasalahan baru ini, maka perlu dilakukan terobosan baru untuk memenuhi beban kerja guru. Berdasarkan uraian di atas dirumuskan permasalahan kajian ini sebagai berikut:“Guru kesulitan memenuhi beban kerja minimalnya berdasarkan regulasi atau peraturan perundang-undangan tentang profesionalisme guru”.
B. Tujuan dan Lingkup Kajian
Berdasarkan rumusan permasalahan penelitian ini maka tujuan umum kajian ini adalah mencari jalan keluar atau terobosan baru yang dapat digunakan untuk membuat kebijakan pemenuhan beban kerja guru yang mampu meningkatkan profesionalisme guru. Untuk mencapai tujuan umum tersebut maka kajian ini akan melakukan:
- Mengidentifikasi rata-rata kekurangan beban kerja guru
- Mengetahui kebijakan daerah dalam memenuhi kekurangan beban kerja guru
- Mengetahui strategi sekolah dalam memenuhi kekurangan beban kerja guru
- Mengidentifikasi kendala dalam memenuhi kekurangan beban kerja guru
Mengenai lingkup studi dapat diuraikan sebagai berikut. Umumnya di SD, guru yang mengajar adalah guru kelas, kecuali guru Agama dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Guru kelas umumnya tidak mengalami kesulitan dalam memenuhi beban kerja minimalnya. Guru yang umumnya mengalami kesulitan memenuhi beban kerja guru adalah guru Mapel, yaitu guru yang mengajar di SMP, SMA dan SMK. Dengan demikian maka fokus kajian ini mengkaji bagaimana guru SMP dan SMA/SMK dapat memenuhi beban kerja minimalnya. Namun, dengan pertimbangan ketersediaan sumber daya yang dimiliki studi, kemudian adanya kemiripan permasalahan yang dihadapi guru Mapel baik di SMP maupun di SMA/SMK, maka lingkup kajian ini hanya difokuskan khusus pada satuan pendidikan SMP.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Beban kerja Guru
Undang-Undang (UU)Nomor 14 Tahun 2005 secara tidak langsung telah mengatur beban kerja guru, tetapi masih diperlukan penjelasan yang lebih rinci tentang formulasi perhitungan beban kerja guru dengan mempertimbangkan beberapa tugas guru di sekolah selain tugas utamanya sebagai pendidik dan item-item apa saja yang bisa dihitung. Untuk itulah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, pada bab IV pasal 52 ayat (1) tertulis beban kerja guru mencakup kegiatan pokok: a) merencanakan pembelajaran; b) melaksanakan pembelajaran; c) menilai hasil pembelajaran; d) membimbing dan melatih peserta didik, dan e) melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja Guru.
PP Nomor 74 Tahun 2008 telah diperbaharui menjadi PP Nomor 19 Tahun 2017 dimana terjadi sedikit perubahan pada Pasal 52 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c,serta ayat (3) sebagai berikut. Beban kerja Guru mencakup kegiatan pokok: a) merencanakan pembelajaran atau pembimbingan; b) melaksanakan pembelajaran atau pembimbingan; c) menilai hasil pembelajaran atau pembimbingan; d) membimbing dan melatih peserta didik; dan e) melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja Guru. Beban kerja Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b) paling sedikit memenuhi 24 (dua puluh empat) Jam Tatap Muka (JTM) dan paling banyak 40 (empat puluh) JTM dalam 1 (satu) minggu. Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
B. Perhitungan Beban Kerja Guru
Kamdi (2014) menyampaikan bahwa tugas guru selain untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, dan/ atau melatih minimal 24 (dua puluh empat) JTM seminggu,beban kerja guru yang lainnya adalah melakukan tugas lain seperti melaksanakan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan. Kegiatan tersebut terdiri atas kegiatan yang berkaitan dengan: (i) pengembangan diri, (ii) publikasi ilmiah, dan (iii) pengembangan pembelajaran inovatif. Kamdi (2014) berpendapat bahwa deskripsi tugas guru muncul menjadi beban kerja ketika telah dinyatakan dengan satuan waktu.
Studi beban kerja guru yang diukur berdasarkan penggunaan waktu dalam menjalankan tugas guru yang dilakukan oleh Kamdi, dkk.(2009), sebagaimana diutarakan dalam Kamdi (2014). Penelitian tersebut mengungkap antara lain waktu yang digunakan guru dalam berbagai macam kegiatan kependidikan, baik selama jam mengajar di sekolah maupun di luar jam sekolah, mulai hari Senin sampai dengan Minggu. Penelitian tersebut menemukan bahwa rerata jumlah waktu yang digunakan untuk melaksanakan pembelajaran paling tinggi, yakni 801,6 menit (13,36 jam) per minggu.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah: beban belajar kegiatan tatap muka di SMP dinyatakan dalam jumlah jam pelajaran per minggu, dengan durasi setiap satu jam pelajaran adalah 40 (empat puluh) menit. Dengan demikian, maka tuntutan minimal beban kerja guru 24 jam tatap muka hanya setara dengan 24*40 = 960 menit (16 jam) per minggu. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Kamdi dkk. (2009)dalam Kamdi (2014) bahwa rerata jumlah waktu yang digunakan untuk melaksanakan pembelajaran adalah 801,6 menit (13,36 jam) per minggu maka faktanya jam tatap muka guru masih lebih rendah daripada tuntutan peraturan perundang-undangan, karena pada kenyataannya JTM yang diperhitungkan agar guru diakui memenuhi beban kerja minimalnya adalah mengajar di depan kelas minimal 24 JTM/ minggu. Hal ini menunjukkan bahwa banyak guru kesulitan memenuhi beban kerja minimalnya.
Penelitian Kamdi dkk.(2009)dalam Kamdi (2014) juga menemukan bahwa kegiatan merencanakan pembelajaran membutuhkan rerata 220,5 menit per minggu. Rerata jumlah waktu yang dibutuhkan untuk merencanakan ini sedikit lebih kecil daripada rerata waktu yang dibutuhkan untuk menilai hasil belajar yang besarnya 247,9 menit per minggu. Sayangnya dua tugas utama guru ini tidak secara eksplisit diperhitungkan dalam beban kerja minimal untuk dapat menerima TPG. Padahal, jika tiga kegiatan utama mengajar ini disatukan, didapat rerata jumlah waktu sebesar 801,6 + 220,5 + 247,9 = 1.270 menit atau 21,2 jam per minggu, artinya sudah lebih besar dari tuntutan beban kerja minimal yang hanya 24*40 menit = 960 menit (atau setara 16 JTM) per minggu.
C. Jam Tatap Muka Guru SMP Menurut Kurikulum 2013 (K-13)
Guru SMP adalah guru mata pelajaran sehingga jam kerja guru di SMP sangat tergantung pada mata pelajaran yang diampu dan durasi jam pelajaran.
D. Beban Kerja Guru di Negara Lain
Kamdi (2014) mengungkapkan beban kerja guru di Afrika Selatan yang adalah hasil kajian dari Chisholm, et al. (2005). Penelitian tersebut memaparkan waktu nyata yang dilakukan guru dalam berbagai kegiatan pembelajaran/pendidikan, dan dibandingkan dengan kebijakan nasional tentang beban kerja guru. Di Afrika Selatan, guru diwajibkan bekerja selama 43 jam seminggu, dari Senin sampai Jumat (hari Sabtu dan Minggu libur), atau rerata 8,6 jam sehari. Guru diharapkan menggunakan 85% dari waktu kerjanya untuk pelaksanaan mengajar, sedangkan sisanya untuk kegiatan menyiapkan pembelajaran, mengevaluasi, kegiatan administratif sekolah, kegiatan bimbingan siswa, dan lainnya. Penelitian tersebut menyimpulkan, pada umumnya, para guru hanya menggunakan waktu kerja 41 jam per minggu dari 43 jam per minggu yang diharapkan pemerintah. Proporsi penggunaan waktu kerja tersebut adalah: 41% pada kegiatan mengajar, 14% menyiapkan pembelajaran, 14% evaluasi, 12% kegiatan ekstrakurikuler, 7% kegiatan administratif sekolah. Hal itu berarti hanya sekitar 16 jam per minggu dipakai guru untuk mengajar tatap muka di kelas. Angka ini kurang lebih sama dengan tuntutan beban kerja minimal guru di Indonesia dengan mengajar tatap muka dengan siswa yaitu sebesar 24*40 menit = 960 menit (atau setara 16 JTM) per minggu.
E. Cara Pemenuhan Beban kerja Guru
Sudarsono (2015) mengatakan bahwa terpenuhi atau tidaknya beban kerja guru pada suatu sekolah dapat dilihat dari daftar kebutuhan guru yang terdapat pada laporan bulanan. Sekolah dengan jumlah guru berlebihan akan mengakibatkan guru yang tidak dapat memenuhi kewajiban mengajarnya, harus menambah jam mengajar disekolah lain. Sedangkan sekolah yang jumlah gurunya kurang, akan mengakibatkan beban mengajar guru semakin berat, sehingga akibat dari semua itu pembelajaran yang dilaksanakan menjadi tidak efektif. Disampaikan Sudarsono (2015) bahwa sampai saat ini, belum semua guru dapat melaksanakan tugas ideal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku yaitu memiliki beban mengajar paling sedikit 24 JTM per minggu. Perihal tersebut terjadi karena jumlah guru yang berlebihan atau lokasi sekolah yang berada di daerah pinggiran yang dikenal dengan 3T (terpencil, terluar, terisolasi) yang terkadang tidak memiliki banyak Rombel.
Sudarsono (2015) juga mengungkapkan bahwa guru yang belum memenuhi beban mengajar minimal harus berusaha untuk memenuhinya dengan cara mengajar pada sekolah lain sehingga tugas yang menjadi tanggung jawabnya menjadi terabaikan karena hanya mengejar target yaitu beban mengajar minimal 24 JTM per minggu. Guru yang beban mengajarnya kurang dari 24 JTM perminggu harus bolak-balik dari sekolah satu ke sekolah lain.
Sinaga (2016) menemukan pula bahwa untuk memenuhi beban kerja minimal 24 (dua puluh empat) JTM dalam seminggu bagi sebagian guru bukanlah perkara yang mudah. Sebab untuk mendapatkan beban kerja tersebut sangat tergantung kepada beberapa hal yaitu: i) misalnya jumlah rombongan belajar yang terdapat pada satu sekolah; ii) jumlah guru mata pelajaran yang sama yang terdapat pada satu sekolah; iii) dan bobot alokasi waktu atau jam pelajaran (les) yang tersedia untuk setiap mata pelajaran.
Selanjutnya dikatakan Sinaga (2016) bahwa sekalipun ada ketimpangan dalam penerapan beban kerja guru, namun dalam PP Republik Indonesia (RI) Nomor 74 Tahun 2008 tentang guru pada Pasal 65 ayat 2 menjelaskan bahwa guru yang tidak dapat memenuhi kewajiban melaksanakan pembelajaran 24 (dua puluh empat) JTM per minggu dan tidak mendapat pengecualian dari menteri, dihilangkan haknya untuk mendapat TPG. Hal ini disebut Sinaga (2016) menjadi sangat fenomenal bagi guru, untuk itu perlu disikapi dengan arif.
Pemerintah menyadari bahwa sebenarnya memang sulit bagi sebagian guru untuk mendapatkan beban kerja guru minimal 24 (dua puluh empat) JTM perminggu. Oleh karena itu pemerintah memberi alternatif jalan keluar seperti mengeluarkan berbagai peraturan yaitu: i) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) RI Nomor 36 Tahun 2007 tentang penyaluran Tunjangan Profesi Bagi Guru; ii) PermendiknasRI Nomor 18 Tahun 2007 Tentang sertifikasi bagi guru dalam jabatan; iii) Permendiknas RI Nomor 11 tahun 2008 tentang perubahan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 18 tahun 2007 tentang sertifikasi guru dalam jabatan; iv) PP RI Nomor 74 tahun 2008 tentang guru; v) Pedoman penghitungan beban kerja guru yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) tahun 2008; vi) PermendiknasRI Nomor 39 tahun 2009 Tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru Dan Pengawas Satuan Pendidikan; vii) Permendiknas RI Nomor 35 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru Dan Angka Kreditnya, (viii)PermendiknasRI 30 Tahun 2011 Tentang Perubahan PermendiknasRI Nomor 39 Tahun 2009, (ix)Permendikbud RI Nomor 4 Tahun 2015 tentang Ekuivalensi Kegiatan Pembelajaran (x) Permendikbud RI Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Tunjangan Profesi Dan Tambahan Penghasilan Bagi Guru PNSD, (xi) PP RI Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas PP RI Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru, (xii) Permendikbud RI Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Tunjangan Profesi.
Intisari dari peraturan-peraturan tersebut adalah bahwa guru dapat memenuhi tuntutan beban kerja minimalnya dengan dua cara yaitu (i) mengerjakan tugas tambahan yang mana tugas tambahan tersebut diakui setara dengan sejumlah JTM tertentu atau (ii) dengan mengajar di sekolah lain. Sayangnya tugas-tugas tambahan yang diakui setara atau ekuivalen dengan sejumlah JTM tertentu jumlahnya sangat terbatas. Dengan demikian maka solusi pertama ini tidak banyak menyelesaikan persoalan pemenuhan beban kerja guru. Guru kemudiandiberikan pilihan alternatif lain untuk memenuhi beban kerja minimalnya dengan mengajar di sekolah lain(Permendiknas RI Nomor 39 Tahun 2009 pasal 5 ayat 1a). Pasal ini mengijinkan guru mengajar pada satuan pendidikan formal yang bukan satuan administrasi pangkalnya, baik sekolah swasta maupun sekolah negeri dengan ketentuan guru tersebut harus melaksanakan tugas mengajar di satuan pendidikan administrasi pangkalnya paling sedikit 6 (enam) jam tatap muka. Sinaga (2016) menyampaikan bahwa mengikuti petunjuk ini pun sebenarnya banyak persoalan, sebab sekolah negeri dan swasta ditempat lain pun kekurangan jam mengajar. Ketika guru harus mengajar pada dua sekolah atau lebih maka dia harus tunduk pada aturan-aturan yang berlaku pada sejumlah sekolah sebagai tempatnya mengajar. Dikatakan Sinaga (2016) bahwa Guru dalam menjalankan tugasnya di beberapa sekolah sekaligus sering kali harus berhadapan dengan tarik menarik kepentingan antara sekolah yang satu dengan sekolah lainnya. Tak ada satu sekolah pun yang mau di nomorduakan.
Oleh karena solusi pemenuhan beban kerja guru yang ada saat ini tidak menyelesaikan permasalahan secara tuntas maka Pemerintah berusaha mencari alternatif solusi lainnya dan solusi yang sempat ditawarkan adalah Kebijakan tentang Lima Hari Sekolah (LHS). Indahri (2017) menyampaikan bahwa kebijakan pemerintahan Jokowi/JK di bidang pendidikan dituangkan dalam nawacita dengan agenda strategisnya menata kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan pendidikan karakter.Agenda ini dijadikan Kemendikbud sebagai salah satu dasar disusunnya kebijakan LHS, karena pendidikan karakter di kalangan siswa, terutama siswa pendidikan dasar, menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Selain itu disebutkannya pula bahwa ada tuntutan global agar pendidikan di sekolah dapat menumbuhkan karakter siswa agar dapat berpikir kritis, kreatif, mampu berkomunikasi, dan berkolaborasi, agar dapat bersaing di abad ke-21. Hal itu sesuai dengan empat kompetensi yangharus dimiliki siswa yang disebut 4C, yaitu critical thinking and problem solving (berpikir kritis dan menyelesaikan masalah), creativity (kreativitas), communication skills (kemampuan berkomunikasi), dan abilityto work collaboratively (kemampuan untukbekerja sama).
Sejalan dengan Indahri (2017), Anggiet (2017) mengemukan bahwa terdapat paling tidak ada lima alasan/tujuan Kemendikbud begitu bersemangat untuk menerapkan kebijakan LHS di sekolah-sekolah yaitu:
- Agar sekolah punya waktu lebih untuk meningkatkan religiusitas: sesuai dengan sila pertama Pancasila, setiap siswa diharapkan bisa mencerminkan keberimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Meningkatkan nasionalisme: banyak orang berpendapat bahwa generasi sekarang kurang nasionalismenya. Melalui LHS pemerintah ingin menanamkan sikap nasionalis dalam diri calon penerus bangsa. Intinya siswa agar dapat menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
- Menumbuhkembangkan sikap gotong royong bersama masyarakat khususnya di akhir pekan: Sebagaimana yang didengungkan oleh presiden pertama kita Bapak Ir. Soekarno yang menegaskan kalau bangsa kita itu dibangun atas dasar gotong royong antarmasyarakat yang beragam, maka Presiden Jokowi pun sering menekankan bahwa semua elemen bangsa harus gotong royong.
- Meningkatkan integritas diri: integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Dalam hal ini siswa diharapkan menjadi orang yang selalu dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
- Biar mandiri: artinya tidak bergantung kepada orang lain dan mempergunakan tenaga,pikiran,waktu untuk merealisasikan harapan,mimpi dan cita-cita.
Jadi LHS memberikan banyak manfaat baik bagi guru maupun bagi siswa. Bagi guru, manfaat LHS agar guru-guru yang tidak dapat memenuhi beban kerja minimalnya yaitu 24 JTM per minggu dapat memenuhinya; sedangkan bagi siswa: dengan LHS akan dapat dilaksanakan program PPK. Dengan demikian, kebijakan LHS dapat menjadi langkah yang tepat untuk revolusi mental di lingkup pendidikan. Karena tujuan dan manfaat yang sangat mulia dari kebijakan LHS ini maka Kemendikbud menerbitkan Permendikbud RI Nomor 23 Tahun 2017 agar sekolah-sekolah memiliki dasar hukum untuk melaksanakan LHS. Hanya saja karena kurangnya sosialisasi tentang LHS maka LHS dianggap menimbulkan kegaduhan/ polemik di dalam masyarakat sebagaimana disampaikan oleh Indahri (2017).Dikatakan bahwa DPR RI melalui Komisi X sangat mendorong dan mendukung semua kebijakan pemerintah yang berupaya untuk memajukan pendidikan nasional.Tetapi khusus untuk pengaturan hari sekolah, perlu diadakan kajian, evaluasi, serta dukungan waktu yang cukup untuk sosialisasi.Kondisi sosiologis masyarakat Indonesia yang sangat beragam harus selalu menjadi pertimbangan sehingga dapat menghapus kesan kurang pekanya Pemerintah terhadap aspirasi masyarakat di berbagai daerah.Disampaikannya bahwa tercatat hanya kurang dari satu persen sekolah atau satuan pendidikan di seluruh Indonesia yang siap menyelenggarakan LHS dan tidak sampai satu persen tenaga pendidik yang telah mendapatkan pelatihan PPK tentunya memperkuat alasan tidak perlu diformalkannya pengaturan hari sekolah dalam bentuk Permendikbud.
Permendikbud RI Nomor 23 Tahun 2017 akhirnya gugur dengan sendirinya sebagai dasar hukum pelaksanaan LHS setelah terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) RI Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, dimana dikatakan dalam Pasal 17 bahwa pada saat Perpresini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hari sekolah dan pendidikan karakter yang bertentangan dengan Perpresini dinyatakan tidak berlaku.
Meskipun Permendikbud RI Nomor 23 tahun 2017 sudah tidak berlaku lagi, namun dalam Perpres RI Nomor 87 tahun 2017 dikatakan bahwa penyelenggaraan program PPK di sekolah terus dapat dilaksanakan tergantung kesiapan sekolah dan boleh dilakukan melalui LHS atau enam hari sekolah dalam seminggu. Dasar hukum penyelengaraan PPK ini tertera pada Pasal 6ayat (1) yang berbunyi: penyelenggaraan PPK pada satuan pendidikan jalur pendidikan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a angka 1 yaitu PPK pada satuan pendidikan jalur pendidikan formal, dilakukan secara terintegrasi dalam kegiatan: (i) intrakurikuler; (ii) kokurikuler; dan (iii) ekstrakurikuler. Selanjutnya bahwa PPK dapat dilaksanakan melalui LHS atau enam hari sekolah sesuai kesiapan sekolah ditetapkan pada Pasal 9 yang berbunyi: Penyelenggaraan PPK pada satuan pendidikan jalur pendidikan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilaksanakan selama 6 (enam) atau 5 (lima) hari sekolah dalam 1 (satu) minggu.Bahwa PPK dapat diselenggarakan dalam waktu lima atau enam hari sekolah dalam sepekan tergantung kepada kesiapan sekolah, himbauan ini disampaikan pula oleh Indahri (2017) yang berpendapat bahwa LHS memang seharusnya hanya menjadi pilihan dan tidak diwajibkan untuk dilaksanakan oleh seluruh sekolah, artinya LHS dapat dilaksanakan apabila sumber daya dan lingkungan sekolah mendukung. Dalam Perpres RI Nomor 87 tahun 2017 Pasal 9 ayat (3) disebutkan bahwa dalam menetapkan penerapan 5 (lima) hari sekolah satuan pendidikan harus mempertimbangkan: (i) kecukupan pendidik dan tenaga kependidikan; (ii) ketersediaan sarana dan prasarana; (iii) kearifan lokal; dan (iv) pendapat tokoh masyarakat dan/atau tokoh agama di luar Komite Sekolah/Madrasah.
Meskipun dalam pasal 17 Perpres RI Nomor 87 Tahun 2017 secara tegas dikatakan bahwa pada saat Perpresini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hari sekolah dan pendidikan karakter yang bertentangan dengan Perpresini dinyatakan tidak berlaku, namun dari uraian di atas terlihat bahwa pasal-pasal tertentu dalam Permendikbud RI Nomor 23 tahun 2017 yang tidak bertentangan dengan Perpres RI Nomor 87 Tahun 2017 masih berlaku dan dapat diterapkan. Apalagi dalam Pasal 16Perpres RI Nomor 87 Tahun 2017dikatakan bahwa Satuan Pendidikan yang belum melaksanakan PPK atau yang sudah melaksanakan PPK namun belum sesuai dengan Perpres ini, dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun harus menyesuaikan dengan Perpresini. Satuan Pendidikan Formal yang telah melaksanakan PPK melalui 5 (lima) hari sekolah yang telah ada sebelum berlakunya Perpresini masih tetap dapat berlangsung.
Dengan demikian, maka kebijakan tentang LHS masih tetap dapat dilaksanakan dan faktanya memang banyak sekolah menerapkan LHS. Khusus untuk SMP berdasarkan SK Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Pertama (Dir. PSMP) telah ditetapkan sebanyak 271 SMP di seluruh Indonesia yang menjadi sekolah percontohan melaksanakan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) Tahun 2016. Sekolah-sekolah ini ditetapkan menyelenggarakan PPK yang dilaksanakan melalui LHS. Meskipun telah terjadi perubahan setelah terbitnya Perpres RI Nomor 87 tetang PPK namun pasti banyak sekolah penyelenggara PPK tetap melaksanakannya melalui LHS, karena Pasal 9 Perpres tersebut yang membolehkannya yaitu bahwa penyelenggaraan PPK pada Satuan Pendidikan jalur Pendidikan Formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilaksanakan selama 6 (enam) atau 5 (lima) hari sekolah dalam 1 (satu) minggu.
Sebelumnya telah diutarakan bahwa LHS dapat menjadi solusi bagi guru untuk memenuhi beban kerja minimal guru yaitu 24 JTM per minggu. Jika sekolah menerapkan LHS yang menjadi pertanyaan bagaimana sekolah memenuhi beban kerja minimal gurunya, karena Permendikbud Nomor 4 Tahun 2015 tentang kegiatan ekuivalensi sudah tidak berlaku lagi, kemudian Permendikbud Nomor 17Tahun 2016 juga tidak secara jelas mengatur tentang kegiatan ekuivalensi. Apakah solusinya guru tetap diarahkan untuk mengajar di lebih dari satu sekolah sebagaimana yang terjadi selama ini?Selama ini guru memang diarahkan untuk mengajar di dua sekolah untuk memenuhi beban kerja minimalnya.Solusi ini diambil karena pada kenyataannya banyak guru mengajar di lebih dari satu sekolah. Dari data tersebut dikalkulasi bahwa rerata JTM guru di sekolah induk memang kurang dari 24 JTM per minggu.
Dengan diterapkan program LHS, namun program LHS sendiri belum mengakomodasi pemenuhan beban kerja guru meski mereka sudah bekerja kurang lebih 40 JTM/minggu, lantas bagaimana strategi yang ditempuh sekolah agar guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik tetap mendapat kesempatan memperoleh TPG? Tentu strategi pertama yang ditempuh adalah memberikan tugas tambahan kepada guru. Tugas tambahan yang sudah lama diakui setara dengan sejumlah JTM tertentu adalah tugas tambahan sebagaimana tertera dalam PP RI Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru Pasal 54 yaitu: (i) sebagai Wakil kepala satuan pendidikan setara 12 JTM/minggu, (ii) sebagai Ketua program keahlian satuan pendidikan setara 12 JTM/minggu, (iii) sebagai kepala perpustakaan satuan pendidikan setara 12 JTM/minggu dan (iv) sebagai kepala laboratorium, kepala bengkel, atau ketua unit produksi satuan pendidikan juga setara 12 JTM/minggu. Strategi lain yang ditempuh dan cukup banyak dilakukan adalah dengan mengajar di dua sekolah, namun tentunya strategi ini sulit untuk diterapkan karena guru harus hadir delapan jam per hari di sekolah induk.Pada kenyataannya banyak guru memang mengajar di lebih dari satu sekolah sebagaimana disajikan dalam Tabel 1.1 tentang jumlah guru PNS (TK-SM) yang mengajar di lebih dari satu sekolah.
Strategi lain yang ditempuh guru dalam memenuhi beban kerja minimal 24 JTM per minggu adalah dengan melakukan pembelajaran/pembimbingan yang diakui ekuivalen dengan sejumlah JTM tertentu sebagaimana diungkapkan sebelumnya dan termuat dalam Permendikbud RI Nomor 4 tahun 2015, namun sayang sekali masa berlaku permendikbud tersebut sudah berakhir, sehingga secara otomatis tugas pembelajaran/ pembimbingan ini tidak diakui lagi setara dengan sejumlah JTM tertentu.
Setelah berakhir masa berlakunya Permendikbud RI Nomor 4 Tahun 2015, telah diterbitkan lagi Permendikbud RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Tunjangan Profesi dan Tambahan Penghasilan Bagi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah, namun Permendikbud tersebut juga tidak secara jelas menjadi pengganti Permendikbud RI Nomor 4 tahun 2015, meski dalam Permendikbud yang terakhir ini ditetapkan ada tugas pembelajaran/pembimbingan baru yang dapat disetarakan dengan sejumlah JTM tertentu, namun tidak sama persis dengan Permendikbud RI Nomor 4 Tahun 2015.
Dalam Permendikbud RI Nomor 17 Tahun 2016 disebutkan tugas tambahan guru yang lain yang dapat disetarakan dengan sejumlah JTM tertentu antara lain:
- Menjadi narasumber nasional atau instruktur nasional atau tim pengembang atau mentor untuk guru pembelajar atau pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) kurikulum, diakui setara dengan 12 JTM per minggu. Tugas tambahan guru ini merupakan tugas tambahan yang baru.
- Bertugas sebagai guru pada sekolah kecil (unit sekolah baru yang memenuhi persyaratan pendirian sekolah baru dengan jangka waktu yang dipersyaratkan), sekolah terbuka dan sekolah terintegrasi (sesuai dengan persyaratan pendirian sekolah terbuka dan sekolah terintegrasi) serta sekolah darurat yang tidak berada di daerah khusus, yang diusulkan oleh Pemerintah Daerah atau Dinas Pendidikan Provinsi atau Kabupaten/Kota dan ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), agar TPG- nya tetap dibayarkan, guru tersebut harus melakukan kegiatan ekuivalensi sebagai berikut: (i) mengajar mata pelajaran yang sama atau mata pelajaran lain; (ii) menjadi tutor Paket A, B,C, C Kejuruan atau program pendidikan kesetaraan; (iii) menjadi guru bina pada sekolah terbuka; (iv) menjadi guru pamong pada sekolah terbuka; (v) membina kegiatan ekstrakurikuler wajib Pramuka; (vi) melaksanakan pembelajaran perbaikan (remedial teaching); (vii) mengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM) milik pribadi, atau milik masyarakat; (viii) menjadi pengelola kegiatan keagamaan; (ix) mengelola Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) mandiri; (x) menjadi guru inti atau instruktur atau pemandu pada kegiatan MGMP; (xi) membina kegiatan mandiri terstruktur bagi peserta didik; (xii) membina kegiatan lain yang terkait dengan pendidikan masyarakat, misalnya kursus kecantikan, memasak, memotong rambut, menjahit, dan sebagainya. Bukti dokumen atau pemberkasan sebagaimana dimaksud di atas diverifikasi oleh Pemerintah atau Dinas Pendidikan Provinsi atau Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya. Untuk tugas tambahan ini tidak disebutkan secara tegas penyetaraannya dengan sejumlah JTM tertentu sehingga bisa menimbulkan multi tafsir dan kurang operasional.
- Bagi satuan pendidikan jenjang SMP, SMA/SMK yang menggunakan Kurikulum 2013 dapat menambah beban belajar per minggu sesuai dengan kebutuhan belajar peserta didik dan/atau kebutuhan akademik, sosial, budaya, dan faktor lain yang dianggap penting di dalam struktur program, namun yang diperhitungkan Pemerintah maksimal dua JTM/minggu. Tugas tambahan yang terakhir ini tidak disebutkan secara jelas sebagaimana yang ditetapkan dalam Permendikbud Nomor 4 Tahun 2015 contoh menjadi wali kelas setara dengan dua JTM/minggu dan sebagainya.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa program LHS tetap berjalan dan kelak akan dijalankan oleh semua sekolah. Namun sebagaimana disampaikan oleh Indahri (2017), Program LHS tidak bisa diterapkan secara serempak di semua sekolah karena masih kurangnya sosialisasi. Diperlukan adanya kajian/evaluasi, terhadap kebijakan LHS yang hasilnya dapat dipakai untuk melakukan sosialisasi yang intensif agar semua lapisan masyarakat dapat menerima dan mendukung program LHS karena menurut Indahri (2017) DPR RI melalui Komisi X sangat mendorong dan mendukung semua kebijakan pemerintah yang berupaya untuk memajukan pendidikan nasional. Tetapi khusus untuk pengaturan hari sekolah, perlu ada kajian/evaluasi, serta dukungan waktu yang cukup untuk sosialisasi, karena kondisi sosiologis masyarakat Indonesia yang sangat beragam harus selalu menjadi pertimbangan sehingga dapat menghapus kesan kurang pekanya Pemerintah terhadap aspirasi masyarakat di berbagai daerah.Untuk itu perlu dilakukan kajian/evaluasi untuk memberikan masukan dalam meningkatkan implementasi LHS di masa yang akan datang.
Dengan rencana implementasi LHS, guru tidak boleh lagi mengajar pada lebih dari satu sekolah. Padahal dari data dalam Tabel 1.1 terlihat bahwa terdapat banyak guru yaitu sebanyak 66.669 guru PNS (TK-SM) yang pada saat ini masih mengajar di dua sekolah. Hal ini berdampak pada dua hal berikut:
- Terjadi kekurangan guru di sekolah yang ditinggalkan guru karena guru kembali ke sekolah induk (sekolah dimana guru mendapat SK untuk bertugas sebagai guru).Penjelasannya sebagai berikut. Ada seorang ibu guru Matematika yang bernama Fatimah. Dia sudah disertifikasi. Untuk mendapat TPG Ibu Fatimah harus mengajar Matematika di dua sekolah. Di sekolah induknya yaitu SMP Negeri 2 Meulaboh Ibu Fatimah mengajar sebanyak 18 JTM, sedangkan di SMP lainnya yaitu SMP Melulaboh 3 dia mengajar 16 JTM. Ketika diterapkan LHS maka Ibu Fatimah hanya bisa mengajar di SMP induk saja. Dengan demikian, Ibu Fatimah tidak bisa mengajar lagi di SMP 3 Meulaboh. Ternyata di SMP 3 Meulaboh guru Matematika tinggal satu orang saja yaitu Pak Rian yang jumlah JTM-nya sudah mencapai 30 JTM, maka di SMP Negeri Meulaboh 3 terjadi kekurangan guru. JTM yang ditinggalkan Ibu Fatimah hanya bisa diambil alih oleh Pak Rian maksimal sebanyak 10 JTM karena Pak Rian sudah mengajar 30 JTM (tercapai beban kerja maksimal bagi guru yaitu 40 JTM/Minggu). Sisanya masih ada 6 JTM. Sisa 6 JTM ini harus diajarkan oleh guru yang lain.
- Guru yang kembali ke sekolah induk, khususnya yang sudah memiliki sertifikat pendidik, harus dapat memenuhi persyaratan mengajar minimal 24 JTM di sekolah induk agar tetap mendapat kesempatan menerima TPG. Dari contoh pada nomor 1 di atas Ibu Fatimah harus melaksanakan kegiatan pembelajaran/pembimbingan yang diekuivalensikan dalam JTM sebanyak 6 JTM lagi agar Ibu Fatimah tetap mendapat kesempatan menerima TPG. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah tersedia cukup kegiatan pembelajaran/ pembimbingan yang dapat diekuivalensikan dalam JTM di SMP Negeri 2 Meulaboh untuk Ibu Fatimah.
Download Buku Kajian Pemenuhan Beban Kerja Guru
Selengkapnya mengenai susunan dan isi berkas Buku Kajian Pemenuhan Beban Kerja Guru ini silahkan lihat dan unduh pada link di bawah ini:
Buku Kajian Pemenuhan Beban Kerja Guru
Download File:
Download Buku Pemenuhan Beban Kerja Guru.pdf
Demikian yang bisa kami sampaikan mengenai keterangan berkas dan share file Buku Pemenuhan Beban Kerja Guru. Semoga bisa bermanfaat.