CERPEN LUCU PENGALAMAN PRIBADI PALING BARU

KUCING YANG PENGERTIAN 

KARYA Hesti Wulandari

Dirumahku,  aku punya satu ekor kucing betina pendatang. Kunamai kucing itu dengan nama “Bunting”.  Ada alasan tersendiri kenapa kunamai kucing itu dengan nama “Bunting”. Pasalnya, kucingku itu subur banget. Ia keseringan berperut bunting. Tak lama setelahnya Ia berojol. Beberapa bulan kemudian Ia bunting lagi dan lagi!

Suatu siang, tatkala ku sedang mengetik  RPP di meja ruang tamu, tiba-tiba ku terkejut bukan kepalang. Nadia teriak-teriak kayak orang baru aja habis lihat hantu. “Kak Nong, kesini.cepatan!!!”. Teriak Nadia memanggilku. Cepat-cepat kuberjalan menyusul Nadia yang sedang berada di kamar Bang Ijal. “Ada apa sih dek teriak-teriak, bikin orang jantungan aja”. Tandasku ke Nadia.


“Kak, kucing yang datang ke rumah kita beberapa minggu yang lalu udah berojol. Lihat nih Kak kucingnya berojol didalam keranjang tempat  baju kotornya Bang Ijal. Gimana nih Kak?. Aku gak mau cuci. Gak mau! Gak mau! Pokoknya gak mau”. Seru Nadia dengan nada mengeluh kepadaku. “Ya udah aku yang cuci”. Jawabku dengan nada keterpaksaan. Aku adalah orang yang sudah familiar dengan taik kucing dan semua persoalan lainnya yang disebabkan oleh kucing. Dulu, aku pernah punya kucing sembilan ekor.

Bayangin saja bertapa pusingnya diriku dengan seabrek masalah yang dibawa kucing-kucing itu. Mulai dari yang paling parah, mereka beol diseluruh kamar yang ada dirumahku sampai pada acara pakek ngambil ikan yang sudah kututup rapat dengan tudung saji. Aku adalah pecinta kucing dan penyayang terhadap kucing.  Jadi tak masalah bagiku jika kucing itu berojol atau berak sembarang tempat. Paling-paling jika mereka kedapatan mengambil ikan dan beol atau muntah disembarang tempat aku memukuli mereka dengan beberapa lidi yang kuambil dari berkah sapu halaman.

Meskipun mereka sering mendapat hukuman, kucing-kucing tersebut tidak jera. Mereka tetap dengan hobi mereka itu. Mereka tak peduli dengan bertapa capeknya aku membuang muntah dan taik mereka serta sprei yang hampir tiap hari kucuci balik karena setiap hari mereka ngompol di tempat tidur persis bayi yang baru lahir saja. “Dasar kucing-kucing…”. Gumamku dalam hati.

Yah, harus gimana lagi mau gak mau aku harus merelakan diriku jadi Baby Sister, jadi Baby Sister gak ada gaji lagi. “Nasib-nasib, malang benar ya”. Celotehku dengan nada kesal. Bertapa tidak tak ada seorangpun orang rumah yang mau membantuku. Semua masalah yang dibuat sama kucing harus ku selesaikan sendiri. Kalau si Nadia, adikku sih si super malas, mana mau dia disuruh berurusan dengan yang namanya muntah dan taik kucing. Anak perempuan yang kemanjaan kayak dia cuma bisa maen facebook sama bbm. Karena tidak tahan dengan penderitaan hidup yang tiada akhir-akhirnya, akhirnya setelah mendapati tuh kucing-kucing lakuin kesalahan fatal dengan beol di sofa ruang tamu, aku tidak memberikan mereka kompensasi lagi. Kali ini tiada ampun untuk mereka.

Setelah kuberi hukuman kucing itu dengan memukulnya dengan sapu lidi, kuputuskan hal yang paling berat meskipun hatiku sedih dan teriris juga karena diriku sudah sangat sayang pada tuh kucing-kucing yang sering kugendong dan terkadang tidur disampingku. Aku membuang mereka kepinggir jalan atau ke pasar ikan walaupun ku tahu mereka enggan dan berat tuk meninggalkan majikan yang baik sekaligus juga jahat sepertiku.

Aku selalu menerima kucing yang datang. Ku rela rumahku dijadikan tempat penampungan semua kucing. Lagipula banyak kucing, banyak rezeki. Begitu kata orang. Kucing itu juga binatang kesayangan Nabi. Karena alasan itulah kuizinkan semua kucing tinggal di rumahku asalkan mereka tidak melanggar norma-norma kesopanan dan tata karma yang telah kutetapkan, tak boleh naik keatas meja makan, tak boleh dengan sengaja mengambil ikan yang sudah ditutup dengan tudung saji serta tak boleh beol atau muntah sembarang tempat.

Setiap kucing yang melanggar tak ayal harus mendapat hukuman  dibuang ke pasar ikan biar jadi gembel dijalanan. Hukuman itu juga kuterapkan pada Bunting. Saat itu ku tak bisa toleransi lagi dengan taik anak-anaknya yang hampir ada disemua ruangan yang ada di rumahku. Anak-anaknya  buat masalah. Kalau Bunting sih tidak. Ia hanya membuat kesalahan kadang-kadang jika ia sudah benar kelaparan. Jika perutnya sudah lapar, ia bisa menelungkupkan gelungku besar yang sudah kuletakkan diatas tudung saji. 

Suatu hari, aku  memutuskan membuang ketiga anak-anaknya yang masih merah namun sudah bisa berjalan walaupun lamban. Hari itu merupakan hari yang sangat melelahkan bagiku. Bertapa tidak, aku harus mengejar anak-anak kucing yang sepertinya mereka tahu kalau mereka mau dibuang. Anak-anak kucing itu sepertinya tidak mau hidup dijalanan jadi gembel. Mereka tetap bersikukuh tak ingin out dari rumah yang menurut mereka pasti sangat nyaman. Mereka tak mau dimasukkan kedalam karung. Akhirnya, setelah beberapa jam, setelah dibantu Bang Ijal, Abangku dalam proses pengejaran tuh kucing, kami berhasil juga mengumpulkan anak-anak kucing buronan itu untuk dimasukkan kedalam karung beras.

“Bang, ada yang kelupaan..”. Panggilku kepada Bang Ijal yang mulai pergi meninggalkan dapur. “Ada apa lagi?”. Tanya Abangku. “Mamaknya aturannya dibuang juga. Kasihan anak-anaknya masih nyusu”. Tandasku. Tanpa berkata apa-apa, Bang Ijalpun menggurungkan niatnya membuang anak-anak kucing itu kepasar.

Aku dan Bang Ijal melanjutkan ekpedisi mencari mamak si anak kucing yang sudah dari tadi nangis “meong-meong” mencari ibu mereka. Bunting pun pulang dari kegiatannya berburu tikus dan tupai diluaran. Seperti biasa, tak lupa Ia membawa makanan berupa tikus tuk anaknya.

“Wah, sayang kali si Bunting sama anak. Tandasku kepada Bang Ijal yang sudah sedari tadi berdiri siap sedia untuk menangkap Bunting.

“Hhppppp,,,,Bunting akhirnya bisa ditangkap oleh Abangku. Cepat-cepat Bang Ijal memasukkannya kedalam karung beras yang sudah berisi ketiga anaknya. Kami pikir setelah melihat ketiga anaknya, Bunting mau ikut ke pasar menemani anak-anaknya yang masih bayi. Ternyata dugaan kami salah. Bunting memaksa untuk keluar karung. Setelah beberapa lama memaksa Bunting untuk masuk kedalam karung, usaha kami gagal juga. Akhirnya kami putuskan untuk membawa ketiga anaknya saja ke pasar sementara Bunting tetap kami biarkan dulu tinggal di rumah ini.

Beberapa bulan kemudian Bunting perutnya berisi bayi lagi. Kami pikir Bunting akan membuat masalah lagi dengan kelahiran anak-anaknya. Ternyata tidak, Bunting cukup sadar diri saat kami membuang ketiga anaknya dengan mata kepalanya sendiri. Ia tak lagi berojol di rumah. Bunting memilih berojol di rumah sepupuku, tepatnya diatas tumpukan baju-baju kotor sepupuku. Untuk menghindari anaknya dibuang kedua kalinya, Bunting juga tidak membesarkan anaknya lagi di rumahku. Begitulah selalunya Bunting lakukan kalau ia ingin berojol. “Waah…taat kali tuh kucing gak bikin capek majikannya”. Ujar Nadia sambil ketawa. Sementara Aton, sepupuku terlihat kesal karena sudah capek mencuci baju-baju kotor yang sudah bercampur dengan darah.

Bireuen, 20 September 2015

Sumber http://www.guruberbahasa.com/

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel