PGRI Desak Pemerintah Segera Lakukan Moratorium UKG
Monday, December 5, 2016
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Timur mendesak pemerintah untuk melakukan moratorium penyelenggaraan uji kompetensi guru (UKG).
Usulan tersebut diajukan karena UKG dinilai memberatkan guru dan tidak sesuai tujuan awal. Yakni, sebagai pemetaan kompetensi tenaga pendidik.
”Fungsi UKG kan sebagai pemetaan kompetensi guru. Jadi, tidak perlu dilakukan setiap tahun. Kalau dilakukan setiap tahun, ujian tersebut hanya akan membebani anggaran pemerintah,” ungkap Ichwan Sumadi, ketua PGRI Jatim, Sabtu (3/12).
Ichwan mengatakan, jika berfungsi sebagai pemetaan guru, UKG seharusnya dilakukan secara periodik. Misal, empat tahun sekali.
Dengan demikian, dana yang dikeluarkan untuk UKG setiap tahun itu bisa dialihkan untuk keperluan pendidikan lainnya. Misalnya, pembangunan sarana-prasarana dan peningkatan tunjangan guru.
Selain itu, PGRI menyesalkan pelaksanaan UKG yang digunakan sebagai syarat sertifikasi dan perolehan tunjangan guru.
Sebab, cara itu jelas melanggar aturan. Ichwan menyebut, hingga saat ini tidak ada aturan undang-undang pendidikan yang menyebut lolos UKG sebagai syarat mendapatkan tunjangan sertifikasi.
”Tidak ada aturan semacam itu,” jelasnya. Ichwan menyampaikan, selain melanggar aturan, pelaksanaan standar UKG tahun ini dinilai sangat memberatkan guru.
Standar kelulusan yang meningkat dari 60 menjadi 80 jelas membuat resah para guru. PGRI memprediksi, tahun ini dengan standar tersebut, guru yang lolos seleksi UKG akan semakin sedikit.
Yakni, hanya sekitar 10 persen. Sisanya harus rela mengulang ujian. Standar kelulusan tersebut, tutur Ichwan, harus segera direvisi pemerintah.
Pengurus Besar (PB) PGRI sepakat nilai UKG ke depan seharusnya dibagi sesuai jenjang umur. Misal, guru usia muda 25–30 tahun tetap bisa menggunakan standar 80.
Untuk guru dengan usia 30–40 tahun, standar bisa diturunkan menjadi 75. ”Perbedaan standar nilai ini sudah kami usulkan pada pemerintah pusat,” jelasnya.
Keputusan perbedaan standar itu, terang Ichwan, dilakukan atas berbagai pertimbangan. Salah satunya tingkat melek teknologi yang berbeda antara generasi muda dan tua.
Dia mencontohkan, saat ini banyak guru berusia di atas 50 tahun yang kesulitan jika dituntut untuk menggunakan teknologi dalam pembelajaran.
Sebaliknya, peran teknologi sebagai sarana penunjang pembelajaran tersebut sudah dikenal baik oleh guru berusia muda.
”Intinya, kami berharap ke depan kompetensi guru Indonesia akan semakin baik. Maka, kualitas guru muda yang masih produktif tersebut memang harus didorong sejak sekarang,” jelasnya.
Sementara itu, pengamat pendidikan Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Daniel M. Rosyid menyebut usulan guru untuk melakukan moratorium UKG tersebut tidak tepat.
Sebab, peran UKG yang menjadi tolok ukur kompetensi guru sebagai pendidik sangatlah penting. ”Usulan itu tidak tepat. Kalau ingin menjadi tenaga profesional, guru harus teruji,” terangnya.
Daniel juga menampik alasan PGRI bahwa pelaksanaan uji kompetensi tersebut akan membebani pemerintah jika dilakukan setiap tahun. Menurut dia, kondisi tersebut tidak akan terjadi jika guru bisa berpikir mandiri.
”Saat ini, mayoritas guru memosisikan diri sebagai pegawai, bukan profesional. Akibatnya, guru hanya bergantung pada dana pemerintah,” terang alumnus University of Newcastle, Inggris, tersebut.
Selain itu, Daniel mengkritik pelaksanaan UKG yang tidak dilakukan oleh organisasi profesi guru. Sebaliknya, pelaksanaan UKG malah diserahkan pada pemerintah.
Padahal, untuk menjadi tenaga profesional, guru harus memiliki organisasi profesi yang kuat.
”Ke depan seharusnya PGRI bisa mencontoh IDI (Ikatan Dokter Indonesia, Red) atau PII (Persatuan Insinyur Indonesia, Red) yang mampu menyelenggarakan uji kompetensi mandiri bagi sesama profesinya. Ini penting agar ke depan guru tak hanya bergantung pada pemerintah. Tapi, juga bisa bergerak mandiri,” jelasnya.
source : www.jawapos.com
Sumber https://www.pgrionline.com/