Cerpen Romantis TERBARU: Kala Cinta Menemukan Cahayanya
Sunday, May 15, 2016
Guruberbahasa.com- Cerpen Romantis
Kala Cinta Menemukan Cahayanya
Hari masih gelap, matahari sepertinya enggan untuk menampakkan cahayanya. Hanya kokok ayam jantan yang terdengar. Daun-daun nampaknya masih basah diselimuti embun. Alam sekitar pun masih berselimut kabut. Pagi yang lembab. Nadila terbangun mendengar suara adzan berkumandang.
Hari masih gelap, matahari sepertinya enggan untuk menampakkan cahayanya. Hanya kokok ayam jantan yang terdengar. Daun-daun nampaknya masih basah diselimuti embun. Alam sekitar pun masih berselimut kabut. Pagi yang lembab. Nadila terbangun mendengar suara adzan berkumandang.
Nadila menggerakkkan seluruh tubuhnya sambil duduk di tempat tidur, terdengar suara gemerutuk dari tulang punggungnya, tulang lehernya, dan kedua lengannya. Ia mensyukuri betapa lelapnya tidur semalam.setelah itu, Ia kemudian bangkit ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Lepas salat Subuh, seperti biasa Nadila tidak melupakan aktivitasnya.membersihkan kamar, mencuci piring, menyapu, itulah yang biasa Nadila lakukan sebelum berangkat ke kampus. Meskipun tergolong keluarga yang kaya, tetapi kedua orang tua Nadila tidak memanjakannya.
Hari ini, tampaknya jadwal kuliah cukup padat. Setumpuk mata kuliah harus dikejarnya dengan penuh semangat. Terlebih-lebih ia tidak bisa terlambat di jam pertama mata kuliah Akuntansi. Ya, pak Rino selaku dosen pengampu mata kuliah ini bisa diakui kerajinannya. Sepuluh menit sebelum waktu perkuliahan dimulai beliau sudah duduk di meja tugas. Benar-benar kualahan deh bagi mahasiswa yang tidak biasa bangun pagi di saat ayam berkokok atau pun adzan berkumandang. Bisa-bisa dibuat malu sama pak Rino. Hebat ya! Kalau semua orang seperti pak Rino bakalan tertib deh Indonesia ini.
Nadila Keyza Revala,gadis cantik berambut panjang ini merupakan mahasiswa aktif Fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi, termasuk anak yang ramah, penyayang, rajin dan disiplin. Jadi, baginya dosen seperti pak Rino, siapa takut?
Seusai mandi, Nadila selalu tepat waktu, menuruni tangga kamarnya menuju ruang makan, mengikuti panggilan perutnya. Pasti sudah ada Mama Papa di sana.
“Pagi Ma…Pa…” sapa Nadila
“Pagi sayang!”
Lalu ciuman Nadila pun mendarat di kedua pipi orang tuanya. Rutinitas yang indah, seperti melihat pemandangan alam. Tenang dan menentramkan.
Di meja makan, keluarga ini biasa saling bercerita mengenai aktivitas masing-masing. Sambil menikmati masakan yang telah dihidangkan di meja makan.
“ Hari ini Nadila kuliah sampai sore Ma, padat jadwalnya”.
“Biasanya juga pulang sore terus ya Pa?” gurau Mama
“Iya Ma, ikutan sibuk kaya Papa.” kata Papa
“ Hehe, wajar dong Pa, Nadila kan artis, jadi sering dikejar-kejar pihak yang membutuhkan.”
“ Iya-iya, yang penting anak Papa harus tetap rajin, jangan ketinggalan kuliahnya.” jawab Papa menyenangkan hati Nadila
“ Beres Pa, Ma, Nadila berangkat dulu ya? Gak boleh terlambat”.
“ Oke…deh, hati-hati di jalan ya Nak!”
Nadila lalu mencium punggung kedua tangan orang tuanya. Tidak lupa mengucapkan salam dan pergi meninggalkan rumah.
Nadila biasa pergi ke kampus dengan diantar oleh sopirnya. Karena masih takut kalau harus mengendarai mobil sendiri. Apalagi sekarang jalan raya sudah cukup ramai. Jadi harus mahir menggunakannya.
Sepeninggal Nadila ke kampus, tak lama kedua orang tuanya pun pergi ke kantor. Rumah menjadi sepi. Hanya Mbok Inah dan Mang Karno saja yang menunggu rumah hingga pemilik rumah itu pulang dari kesibukannya.
Setibanya di kampus, Nadila langsung menuju kelasnya. Cukup melelahkan untuk menaiki lantai dua, tempat biasa dia mengikuti perkuliahan pak Rino..Langkah yang gontai serta alunan kakinya yang jenjang tidak terasa telah menemui daun pintu kelasnya. Tampak tiga orang sudah menempati tampat kursi yang telah tersedia. Kayla, Icha, dan Nayla, itulah mereka, teman dekat Nadila yang selalu bersama-sama di kampus, jalan, makan, juga main.
“Pagi semua?” sapa nadila
“Pagi juga?”
“Masih sepi ya, kemana aja nie yang lain, belum pada datang?”
“Tau tuh, udah ah biarin aja yang penting kita dah di kelas.”
Satu per satu penghuni kelas pun bertambah. Hingga dosen tiba pun masih ada mahasiswa yang silih berganti datang terlambat. Nyelonong masuk tidak tau malu. Biasa tabiat mahasiswa. Hehe
Waktu terus berjalan, pagi pun telah berganti sore. Tepat pukul 16.00 Nadila keluar dari kelasnya. Cukup melelahkan ia melewati perkuliahan hari ini. Seperti biasa Nadila pulang bersama kedua temannya. Berjalan perlahan menuju halte tempat menunggu bus.
Di perjalanan, ketika Nadila, Kayla dan icha sedang menyusuri taman kampus, terlihat dua pemuda sedang duduk di taman. Sekilas Nadila melihat seorang pemuda diantaranya sedang memperhatikan Nadila dari kejauhan.
“Nad, tuh cowok dari tadi ngliatin lo aja.” ucap Kayla
“Iya Nad, naksir kali dia.” celutuk Icha
“Masa sih! Udah lah biarin aja. Dia kan gak gangguin kita.” jawab Nadila enteng
Nadila tidak menanggapi kata-kata temannya. Mereka tetap berjalan melewati pemuda itu. Setibanya di rumah, Nadila melewati kegiatannya seperti biasa. Hingga waktunya untuk memejamkan mata dan melepas penat yang Nadila lalui hari ini.
Namun, di luar sana. Di kamar kost ukuran 6x6 m itu, jarum jam telah berdenting sebelas kali. Seorang pemuda sedang terserang insomnia memikirkan gadis jelita yang ia lihat di taman kampus sore tadi.
“Ga, kenapa lo bengong gitu kaya orang kesambet aja!” Tanya Adit teman kosannya
“Gue kepikiran cewek tadi, Dit! Waktu kita liat di taman, gua naksir ma dia.”
“Yang mana, tadi kan ada tiga cewek, Ga?”
“Ya yang cantik lah! Yang tinggi, putih, rambutnya panjang.”
“Lo samperin aja dia, Ga! Dia mahasiswa FE jurusan Akuntansi semester dua.”
“Kok lo tau, Dit!”
“Iya dia ikut BEM, gua pernah liat dia waktu kumpulan di unit mahasiswa.”
“Oh, kirain lo udah kenal ma dia.”
“Kenapa? Lo mau gua kenalin, besok gua maintain nomor handphonenya. Gua punya temen di FE.
“Siip, Bro!”
Ega cukup tenang dengan ucapan temannya. Ada jalan untuk menggapai harapannya, mendekati Nadila. Gadis cantik yang ia kagumi dan mungkin sulit untuk mendapatkannya.
Gema adzan Subuh masih terngiang di telinga. Mengantar sang surya yang akan menuju ke peraduannya. Gemanya menerobos dedaunan, menembus dinding dan langit-langit. Nadila masih terduduk di atas kasur, dan akan melewati hari-harinya dengan semangat yang baru.
Nadila melalui aktivitasnya seperti biasa. Berangkat kuliah dengan tepat waktu. Hari ini, jadwal kuliah tidak sepadat hari lalu. Hari ini pula, sebagai langkah awla Ega untuk memulaiu usahanya mendekati Nadila. Akankah Ega berhasil? Semua ini akan terjawab setelah siasat Adit berhasil untuk meminta nomer Nadila pada Icha. Adit dan Icha memang sudah lama kenal. Mereka sempat berteman ketika duduk di SMA. Jadi mudah buat Adit untuk meminta pada Icha. Dan Icha pun setuju dengan Adit yang ingin mendekatkan Nadila dengan Ega. Mahasiswa Fakultas Hukum, tinngi, putih, dan terlihat tampan. Postur tubuh yang sesuai dan cocok bila disandingkan dengan nadila.
Seusai kuliah, Nadila kembali pulang melewati taman. Kala itu pula, Ega telah siaga menempati kursi taman, duduk terdiam sambil membuka buku sebagai alibi mencuri pandang melihat gadis yang dikaguminya. Hari-hari telah dilewati. Namun, Ega belum memberikan diri berkenalan dengan Nadila. Hingga suatu malam Adit datang bermain ke rumahnya.
“Ga, ini nomer Nadila.”
“Jadi cewek itu namanya Nadila? Cantik sesuai dengan orangnya.”
“Huh norak lo! Udah buruan lo telepon dia. Mumpung malam minggu capa tau dia lagi nyantai di kamar.”
“Dia gak ada cowok kan, Dit!”
“Kata teman gua sih dia belum pernah pacaran. Cuma deket aja sama temen-temen sekolahnya dulu.”
Nadila tersadar dari lamunannya, ketika mendengar lirik lagu di ponselnya berdering. Pertanda panggilan masuk. Nadila tertegun nomor baru masuk di ponselnya.
“Halo.” sapa Nadila
Terdengar suara lembut di seberang sana, berdesir-desir rasanya hati Ega. Dag dig dug bunyi jantung Ega serasa mau copot.
“Halo.” Nadila mengulanginya
“Halo, Nadila.” jawab Ega dengan penuh keberanian
“Gua Ega, mahasiswa Fakultas Hukum….
Dijelaskannya panjang lebar mengenai diri Ega. Dari dia dapat nomor handphone Nadila, hingga bercerita tentang perkuliahan dan alamat rumah mereka. Cukup lama mereka berbincang-bincang. Nadila pun merespon dengan baik. Hal ini sangat melegakan hati Ega. Ega pun mengajak Nadila bertemu di taman kampus esok harinya. Nadila menjawab dengan malu-malu, lembut kata-katanya menyetujui ajakan Ega sebagai tanda perkenalan mereka.
Ini, adalah hari-hari yang Ega tunggu. Setelah keberaniannya menelpon Nadila. Kini, ia tekadkan untuk menemui Nadila. Sebagai langkah keduanya mendapatkan hati Nadila. Setibanya di kampus, nadila tudak lupa menceritakan kejadian semalam kepada teman-temannya. Mereka hanya tersenyum senang menanggapi cerita Nadila.karena mereka lebih tau dulu rencana itu. Begitu pula dengan Ega menceritakan rencana pertemuannya dengan Nadila kepada Adit.
Senja yang indah, namun tak seindah jantung Ega yang berdetak kencang seperti akan menembus keluar paru-paru. Ega sudah duduk di taman menunggu kedatangan Nadila. Tak lama, seusai perkuliahan Nadila pun di antar temannya menemui Ega. Namun, setibanya di sana Icha pun meninggalkan Nadila.
Dengan langkah berat nadila pun menduduki kursi di samping Ega. Tidak terlalu dekat. Nadila termasuk cewek pemalu dan jarang terlihat dekat dengan para lelaki.
“Hai, gua Ega!” disapanya Nadila untuk mencairkan kebekuan di antara mereka.
“Nadila.” diiringi dengan senyum simpul dari bibir Nadila
Ega senang melihat wajah Nadila yang bersemu dan tersenyum malu-malu padanya. Hal ini lah yang membuat Ega terpaut pada gadis cantik yang sedang duduk di sampingnya. Mereka saling berkenalan, ngobrol, bercerita, dan tawa canda pun terlihat di raut muka keduanya.
Waktu pun terus berkedip. Tidak terasa pertemuan pertama kala senja itu, harus berakhir. Ega mengantar Nadila pulang ke rumahnya. Senangnya Ega saat itu.
Detik demi detik telah berputar. Lembaran hari pun telah berganti minggu. Sudah Minggu kelima Ega mengenal Nadila. Selalu menghubunginya, memberi perhatian, mengantar maupun menjempput kuliah. Hari-hari Ega penuh dengan Nadila. Rasa sukanya pada Nadila semakin bertambah. Namun Ega belum berani untuk mengatakannya.
“Terlalu lo Ga!” serum Adit dengan geram,
“Cowo itu harus berani, agresif, menyerang, bukannya diem aja kaya ayam sayur!”
“Gue kan bukannya diem, Dit! Butuh nyali buat hal itu.”
“Gak berani kan lo, Ga! Cemen.”
“Kalo aja gua bisa semudah itu ngomong suka sama Nadila.”
“Harus dipaksa, Ga! Di dunia itu gak ada yang sulit. Kecuali memang yang gak dicoba. Cowok harus optimis! Pastiin kali ini lo gfak perlu bantuan gue, Ga!”
Benar juga kata Adit. Sudah waktunya Nadila tahu, siapa Ega sebenarnya. Batin Ega malam itu sambil merapikan kerah bajunya dan tersenyum tipis di depan cermin.
Di saat itu, terjadi perbincangan juga antara Nadila dan teman-temannya. Di sebuah kamar yang mewah, rapi, dan nyaman bila berada di dalamnya.
“Nad, kelanjutan hubungan lo ma Ega gimana sih!” Tanya Icha geram
“Iya, gak jelas arah tujuannya. Sahut Kayla.”
“Tau ah, aku juga bingung, harus kemana ya? Dia pernah sih nembak gua, Cha.”
“Terus.”
“Gua tolak. Pertama, dia bilang lewat sms, gua belum bisalah terima dia. Setengah percaya, secepat itu dia bilang sayang. Kedua, lewat telepon.
“Lo jawab apa, Nad!” sahut Kayla tak sabar
“Ya gua gak jawab. Gua cuma yakinin dia aja beneran udah sayang, dia jawab iya, tapi gua diemin aja.
“Gila lo, Nad! Cowok sekeren dia, baik juga kamu tolak begitu aja.”
“Mendingan buat gua. Nyesel lo, Nad!”
“Enggak. Gua gak nyesel. Gua yakin kalo dia beneran suka sama gua, gak akan nyerah dong usahanya. Tapi kalo gak bener-bener, ya udahlah.”
“Jadi, kalo Ega nembak lagi, lo mau terima dong, Nad!”
“Yaaa, may be yes, may be no!”
Hening menyelimuti ruangan sesaat. Tiba-tiba ponsel Nadila berbunyi. Tertera di layer ponsel, Ega calling.
“Panjang umur, Nad. Angkat! Icha penuh semangat
“Halo. Kenapa Ga malam-malam nelpon?”
“Gak papa Nad, besok bisa kan kalo kita ketemu.”
“Emm, bisa. Di mana Ga? Di taman?”
“Bukan, Nad! Besok aku jemput kamu ya? Kita jalan. Aku pengen ngomongin sesuatu sama kamu.”
“Iya, Ga.”
“Ya udah. Met malam Nadila. Sampai ketemu besok.”
“Malam.”
Sambungan pun terputus.
Setelah Ega menelpon, Nadila pun cerita kepada temannya. Malam yang seru. Tanpa terasa jam dinding menunjukkan tengah malam. Mereka pun tertidur hingga pagi menjelang.
Esoknya, dengan membawa segudang rasa optimis. Honda jazz warna merah telah meluncur di depan gerbang rumah Nadila. Kedatangan Ega membuat hati Nadila cerah, secerah mentari pagi ini.
Ega, menemui orang tua Nadila berpamitan untuk mengajak keluar Nadila. Papa Mama Nadila cukup senang melihat perilaku Ega yang sopan dan baik. Hal ini sebagai tanda responnya pada hubungan Egad dan putrinya.
Nadila pun memasuki pintu mobil yang telah dibukakan ole Ega. Di tengah perjalanan, Nadila bertanya-tanya sebenarnya mau dibawa kemana ini? Nadila maupun Ega tidak memberi tahu teman-temannya. Hanya Ega lah yang tahu. Dengan sejuta penasaran Adit dan Icha mengikuti langkah mereka dari belakang. Seperti polisi yang sedang mengintai buronan saja ya?
Akhirnya, setelah 30 menit melewati perjalanan. Nadila tertegun melihat tempat yang telah disediakan oleh Ega. Di rumah orang tua Ega. Di lantai atas, rumah yang asri dikelilingi taman dekat puncak yang indah. Membuat hati Nadila berbunga-bunga.
Nadila memberikan senyum terindahnya untuk Ega
Dipersilakannya Nadila duduk di sebuah kursi yang mengelilingi meja bundar penuh dengan hiasan lilin dan bunga.
Dipegangnya kedua tangan Nadila.
“Nad, aku mau ngomong.”
“Iya. Ngomong apa, Ga?”
“ Aku Cuma mau bilang, kalo aku udah lama punya… punya perasaan ke kamu.”
Nadila terdiam. Membiarkan semilir angin mempermainkan anak-anak rambutnya. Membuatnya makin cantik di mata Ega.
“Aku suka kamu, Nad.”
Lalu, tanpa diduga-duga Nadila menatap Ega lurus dan melepas tangannya.
“Maaf, Ga!”
Kata itu menimbulkan debar keras dihati Ega makin keras. Ega menundukkan pandangannya. Lemas, harapannya ‘kan dunia indah bersama Nadila kandas.
Bumi terasa berhenti berputar. Bermata-mata pandangan dibalik tirai jendela pun menjadi arang akibat kobaran api cinta.
“Ega, maaf!” kembali Nadila mengulangi kata-kata itu
“Kenapa, Nad?”
“Maaf, Ga. Aku gak bisa kalo nolak kamu.”
“Serius, Nad!”
Ega memancarkan matanya dengan cahaya cintanya. Dunia serasa hidup kembali.
“Serius kan, Nad!” diulang kembali ungkapan ketidakpercayaannya itu.
Dengan tertunduk malu, Nadila melempar senyum indahnya kepada Ega sebagai bukti jawaban iyanya.
Tak lama kemudian, mata-mata di balik tirai pun menampakkan wujudnya. Papa, Mama, Icha, Adit dan Ayah Bunda Ega tersenyum senang menemui keduanya.
Cerpen: Ika Puspita Apriani
Sumber http://www.guruberbahasa.com/