Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia

Sejarah Perkembangan Kurikulum Indonesia


Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pendidikan. Kurikulum mencerminkan falsafah hidup bangsa, ke arah mana dan bagaimana bentuk kehidupan itu kelak akan ditentukan oleh kurikulum yang digunakan oleh bangsa tersebut sekarang. Nilai sosial, kebutuhan dan tuntutan masyarakat cenderung/selalu mengalami perubahan antara lain akibat dari kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi. Kurikulum harus dapat mengantisipasi perubahan tersebut, sebab pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis untuk mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut.

Dalam perjalanan Indonesia, kurikulum di Indonesia dapat di bagi menjadi dua bagian, yaitu kurikulum sebelum Indonesia merdeka dan kurikulum setelah Indonesia merdeka.. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.  Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.

A.      Kurikulum di Indonesia sebelum merdeka
1.    Pendidikan Sebelum  Masa Kolonialisme
Pada saat zaman hindu budha, pendidikan hanya dinikmati oleh kelas Brahmana, yang merupakan kelas teratas dalam kasta Hindu. Mereka umumnya belajar teologi, sastra, bahasa, ilmu pasti, dan ilmu seni bangunan. Sejarah mencatat, kerajaan-kerajaan Hindu seperti Kalingga, Kediri, Singosari, dan Majapahit, melahirkan para empu, punjangga, karya sastra, dan seni yang hebat.

Padepokan adalah model pendidikan zaman hindu yang dikelola oleh seorang guru/bengawan dan murid/cantrik mempelajari ilmu bersifat umum, religius, dan juga kesaktian. Murid di Padepokan bisa keluar masuk bila merasa cukup atau tidak puas dengan pengajaran guru.

Pada zaman penyebaran Islam, pola pendidikan bernapaskan islam menyebar dan mewarnai penyelenggaraan pendidikan. Pusat-pusat pendidikan tesebar di langgar, surau, meunasah (madrasah), masjid, dan pesantren. Pesantren adalah lembaga pendidikan formal tertua di Indonesia. Pesantren diajar oleh seorang kyai, dan santri/murid tinggal di pondok/asrama di sekitar pesantren. Jumlah pondok pesantren cukup banyak tersebar di Jawa, Aceh, dan sumatera selatan. Sampai saat ini pondok pesantran masih eksis, menurut data DEPAG pada tahun 2005-2006 jumlah pesantren yang asa di 33 propinsi di Indonesia adalah 16.015 buah, dengan jumlah santri sebanyak 3.190.394 orang, dengan proposi laki-laki 53,2% dan perempuan 46,8%.  Bagaimana perkembangan pendidikan islam dari sebelum merdeka hingga kini, bisa dibaca dihalaman madrasah pada blog ini.

2.    Pendidikan Masa Kolonialisme
Pada masa penjajahan Portugis didirikan sekolah-sekolah misionaris. Portugis mendirikan sekolah seminari di Ambon, Maluku, dan sebagian Nusa Tenggara Timur. Belanda pada awal kedatangannya pun melakukan hal yang sama dengan Portugis. Pendidikan banyak ditangani oleh kalangan gereja kristen dengan bendera Nederlands Zendelingen Gennootschap (NZG). Pasca politik etis, Belanda mengucurkan dana pendidikan yang banyak dan bertambah setiap tahunnya, tetapi tujuannya untuk melestrarikan penjajahan di Indonesia.

Pada masa penjajahan Belanda, setidaknya ada tiga sistem pendidikan dan pengajaran yang berkembang saat itu. Pertama, sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan perantren. Kedua, sistem pendidikan Belanda.  Sistem pendidikan Belanda diatur dengan prosedur yang ketat dari mulai aturan siswa, pengajar, sistem pengajaran, dan kurikulum. Sistem prosedural seperti ini sangat berbeda dengan sistem prosedural pada sistem pendidikan islam yang telah dikenal sebelumnya.  Sistem pendidikan belanda pun bersifat diskriminatif.  Sekolah-sekolah dibentuk   dengan membedakan pendidikan antara anak Belanda, anak timur asing, dan anak pribumi. Golongan pribumi ini masih dipecah lagi menjadi masyarakat kelas bawah dan priyayi. Susunan persekolahan zaman kolinial adalah sebagai berikut (Sanjaya, 2007:207):
a.    Persekolahan anak-anak pribumi untuk golongan non priyayi menggunakan pengantar bahasa daerah, namanya Sekolah Desa 3 tahun.  Mereka yang berhasil menamatkannya boleh melajutkan ke Sekolah Sambungan (Vervolg School) selama 2 tahun.  Dari sini mereka bisa melanjutkan ke Sekolah Guru atau Mulo Pribumi selama 4 tahun, inilah sekolah paling atas untuk bangsa pribumi biasa.  Untuk golongan pribumi masyarakat bangsawan bisa memasuki His Inlandsche School selama 7 tahun, Mulo selama 3 tahun, dan Algemene Middlebare School (AMS) selama 3 tahun.
b.    Untuk orang timur asing disediakan sekolah seperti Sekolah Cina 5 tahun dengan pengantar bahasa Cina,  Hollandch Chinese School (HCS) yang berbahasa Belanda selama 7 tahun.  Siswa HCS dapat melanjutkan ke Mulo.
c.    Sedangkan untuk orang Belanda disediakan sekolah rendah sampai perguruan tinggi, yaitu Eropese Legere School 7 tahun, sekolah lanjutan HBS 3 dan 5 tahun Lyceum 6 tahun, Maddelbare Meisjeschool 5 tahun, Recht Hoge School 5 tahun, Sekolah kedokteran tinggi 8,5 tahun, dan kedokteran gigi 5 tahun.

Pemerintah kolonial sebenarnya tidak berniat mendirikan universitas tetapi akhirnya mereka mendirikan  universitas untuk kebutuhan mereka sendiri seperti Rechts Hogeschool (RH) dan Geneeskundige Hogeschool di Jakarta. Di Bandung, pemerintah kolonial mendirikan Technische Hogeschool (TH). Kebanyakan dosen TH adalah orang Belanda.  Menurut Soenarta (2005) kaum inlanders atau pribumi agak sulit untuk masuk ke sekolah-sekolah tinggi itu.  Ketika almarhum Prof Roosseno lulus TH, jumlah lulusan yang bukan orang Belanda hanya tiga orang, yaitu Roosseno dan dua orang lagi vreemde oosterling alias keturunan Tionghoa. Bila demikian, lantas berapa orang yang lulus bersama almarhum Ir Soekarno (presiden pertama RI) dan Ir Putuhena? Di zaman pendudukan Jepang, pernah dicari 100 orang insinyur yang dibutuhkan. Padahal saat itu belum ada 90 orang insinyur lulusan TH Bandung.

Agar tidak banyak bangsa Indonesia yang melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, maka biaya kuliah pun dibuat sangat besar.  Menurut Soenarta (2005) biaya kuliah untuk satu tahun di salah satu sekolah tinggi itu besarnya fl (gulden) 300. Saat itu, harga satu kilogram (kg) beras sama dengan 0,025 gulden. Maka, besar uang kuliah sama dengan 12.000 kg beras. Bila ukuran dan perbandingan itu diterapkan sebagai biaya kuliah di universitas sekarang, sedangkan harga beras sekarang rata-rata Rp 3.000 per kg, maka untuk kuliah di universitas biayanya sebesar Rp 36 juta per mahasiswa per tahun.  Biaya di MULO, setingkat sekolah lanjutan tingkat pertama, adalah sebesar 5,60 gulden per siswa per bulan, setara dengan 224 kg beras. Bila dihitung dengan harga beras sekarang, akan menjadi Rp 672.000 per siswa per bulan. Akibatnya banyak anak Indonesia yang lebih memilih masuk  Ambachtschool atau Technische School, karena biayanya agak murah sedikit. Berbekal keterampilan yang diperoleh di Ambachtschool atau Technische School, siswa bisa langsung bekerja setelah lulus.

Kurikulum pendidikan Belanda dideisain untuk melestarikan penjajahan di Indonesia, maka pada kurikulum pun dikenalkan kebudayaan Belanda, juga penekan hanya pada menulis dengan rapi, membaca, dan berhitung, yang keterampilan ini sangat bermanfaat untuk diperbantukan pada Pemerintah Belanda dengan gaji yang sangat rendah.  Anak-anak Indonesia pada zaman itu tidak diperkenalkan dengan budayanya sendiri dan potensi bangsanya.

Ketiga, sekolah yang dikembangkan tokoh pendidikan nasional seperti KH Ahmad Dahlan dan Ki Hajar Dewantara.  K.H Achmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah yang menggunakan sistem pendidikan barat dengan menambanhkan pelajaran agama islam.  Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa dengan membuat sistem pendidikan yang berakar pada budaya dan filosofi hidup Jawa, yang kemudian dianggap sebagai sistem pengajaran dan pendidikan nasional.

Pada masa Jepang, pendidikan diarahkan untuk menyediakan prajurit yang siap berperang di perang Asia Timur Raya. Peggolongan sekolah berdasarkan status soaial yang dibangun Belanda dihapuskan. Pendidikan hanya digolongkan pada pendidikan dasar 6 tahun, pendidikan menengah pertama, dan pendidikan menegah tinggi yang masing-masing tiga tahun, serta pendidikan tinggi. Sekolah Rendah diganti nama menjadi Sekolah Rakyat (Kokumin Gakko), Sekolah Menengah Pertama (Shoto Chu Gakko), dan Sekolah Mengengah Tinggi (Koto Chu Gakko). Hampir semua pendidikan tinggi yang ada pada zaman Belanda ditutup, kecuali Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta, dan Sekolah Teknik Tinggi di Bandung.

Pada masa peralihan dari Jepang ke Sekutu, ketika proklamasi dikumandangkan, dibentuklah Panitia Penyelidik Pengajaran RI yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara. Lembaga ini melahirkan rumusan pertama sistem pendidikan nasional, yakni pendidikan bertujuan menekankan pada semangat dan jiwa patriotisme. Kemudian disusun punla pembaruan kurikulum pendidikan dan pengajaran. Kurikulum sekolah dasar lebih mengutamakan pendekatan filosofis-ideologis. Proses penyunsunan singkat dan tentu saja tanpa disertai data empiris. Penetapan isi kurikulum di masa permulaan kemerdekaan itu berdasarkan asumsi belaka.
Setelah Indonesia merdeka dalam pendidikan dikenal beberapa masa pemberlakuan kurikulum yaitu kurikulum sederhana (1947-1964), pembaharuan kurikulum (1968 dan 1975), kurikulum berbasis keterampilan proses (1984 dan 1994), dan kurikulum berbasis kompetensi 2004 kurikulum tingkat satuan pemdidikan  2006 dan kurikulum 2013

B.       Kurikulum di Indonesia setelah Indonesia merdeka
Sejarah Perkembangan Kurikulum Indonesia Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia
1.    Rencana Pelajaran 1947
Kurikulum pertama pada masa kemerdekaan namanya Rencana Pelajaran 1947. Ketika itu penyebutannya lebih populer menggunakan leer plan (rencana pelajaran) ketimbang istilah curriculum dalam bahasa Inggris. Rencana Pelajaran 1947 bersifat politis, yang tidak mau lagi melihat dunia pendidikan masih menerapkan kurikulum Belanda, yang orientasi pendidikan dan pengajarannya ditujukan untuk kepentingan kolonialis Belanda. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Situasi perpolitikan dengan gejolak perang revolusi, maka Rencana Pelajaran 1947, baru diterapkan pada tahun 1950. Oleh karena itu Rencana Pelajaran 1947 sering juga disebut kurikulum 1950.

Susunan Rencana Pelajaran 1947 sangat sederhana, hanya memuat dua hal pokok, yaitu daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, serta garis-garis besar pengajarannya. Rencana Pelajaran 1947 lebih mengutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara, dan bermasyarakat, daripada pendidikan pikiran. Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian, dan pendidikan jasmani.

Mata pelajaran untuk tingkat Sekolah Rakyat ada 16, khusus di Jawa, Sunda, dan Madura diberikan bahasa daerah. Daftar pelajarannya adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, Berhitung, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi, Sejarah, Menggambar, Menulis, Seni Suara, Pekerjaan Tangan, Pekerjaan Keputrian, Gerak Badan, Kebersihan dan Kesehatan, Didikan Budi Pekerti, dan Pendidikan Agama. Pada awalnya pelajaran agama diberikan mulai kelas IV, namun sejak 1951 agama juga diajarkan sejak kelas 1.

Garis-garis besar pengajaran pada saat itu menekankan pada cara guru mengajar dab cara murid mempelajari. Misalnya, pelajaran bahasa mengajarkan bagaimana cara bercakap-cakap, membaca, dan menulis. Ilmu Alam mengajarkan bagaimana proses kejadian sehari-hari, bagaimana mempergunakan berbagai perkakas sederhana 9pompa, timbangan, manfaat bes berani), dan menyelidiki berbagai peristiwa sehari-hari, misalnya mengapa lokomotif diisi air dan kayu, mengapa nelayan melaut pada malam hari, dan bagaimana menyambung kabel listrik.

Pada perkembangannya, rencana pelajaran lebih dirinci lagi setiap pelajarannya, yang dikenal dengan istilah Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. Seorang guru mengajar satu mata pelajaran”. Pada masa itu juga dibentuk Kelas Masyarakat. yaitu sekolah khusus bagi lulusan SR 6 tahun yang tidak melanjutkan ke SMP. Kelas masyarakat mengajarkan keterampilan, seperti pertanian, pertukangan, dan perikanan. Tujuannya agar anak tak mampu sekolah ke jenjang SMP, bisa langsung bekerja.
Struktur program Sekolah Rakyat (SD) menurut Rencana Pelajaran 1947 adalah sebagai berikut:
No
Mata Pelajaran
Kelas
1
2
3
4
5
6
1.
B. Indonesia
-
-
8
8
8
8
2.
B. Daerah
10
10
6
4
4
4
3.
Berhitung
6
6
7
7
7
7
4.
Ilmu Alam
-
-
-
-
1
1
5.
Ilmu Hayat
-
-
-
2
2
2
6.
Ilmu Bumi
-
-
1
1
2
2
7.
Sejarah
-
-
-
1
2
2
8.
Menggambar
-
-
-
-
2
2
9.
Menulis
4
4
3
3
-
-
10.
Seni Suara
2
2
2
2
2
2
11.
Pekerjaan Tangan
1
1
2
2
2
2
12.
Pekerjaan kepurtian
-
-
-
1
2
2
13.
Gerak Badan
3
3
3
3
3
3
14.
Kebersihan dan kesehatan
1
1
1
1
1
1
15.
Didikan budi pekerti
1
1
2
2
2
3
16.
Pendidikan agama
-
-
-
2
2
2
JUMLAH
28
28
35
38
40
41

2.      Kurikulum 1964
Pada akhir era kekuasaan Soekarno, kurikulum pendidikan yang lalu diubah menjadi Rencana Pendidikan 1964. Isu yang berkembang pada rencana pendidikan 1964 adalah konsep pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif, dan produktif. Konsep pembelajaran ini mewajibkan sekolah membimbing anak agar mampu memikirkan sendiri pemecahan persoalan (problem solving). Rencana Pendidikan 1964 melahirkan Kurikulum 1964 yang menitik beratkan pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral, yang kemudian dikenal dengan istilah Pancawardhana. Disebut Pancawardhana karena lima kelompok bidang studi, yaitu kelompok perkembangan moral, kecerdasan, emosional/artisitk, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pada saat itu pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis, yang disesuaikan dengan perkembangan anak. Cara belajar dijalankan dengan metode disebut gotong royong terpimpin. Selain itu pemerintah menerapkan hari sabtu sebagai hari krida. Maksudnya, pada hari Sabtu, siswa diberi kebebasan berlatih kegitan di bidang kebudayaan, kesenian, olah raga, dan permainan, sesuai minat siswa.   Kurikulum 1964 adalah alat untuk membentuk manusia pacasialis yang sosialis Indonesia, dengan sifat-sifat seperti pada ketetapan MPRS No II tanun 1960.
Penyelenggaraan pendidikan dengan kurikulum 1964 mengubah penilaian di rapor bagi kelas I dan II yang asalnya berupa skor 10 – 100 menjadi huruf A, B, C, dan D. Sedangkan bagi kelas II hingga VI tetap menggunakan skor 10 – 100.
Kurikulum 1964 bersifat separate subject curriculum, yang memisahkan mata pelajaran berdasarkan lima kelompok bidang studi (Pancawardhana).  Struktur program berdasarkan kurikulum ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
No
Mata Pelajaran
Kelas
1
2
3
4
5
6
I
Pengembangan Moral
1.   Pendidikan kemasyarakatan
1
2
3
3
3
3
2.   Pendidikan agama/budi pekerti
1
2
2
2
2
2
II
Perkembangan kecerdasan
3.   Bahasa Daerah
9
8
5
3
3
3
4.   Bahasa Indonesia
-
-
6
5
8
8
5.   Berhitung
6
6
6
6
6
6
6.   Pengetahuan alamiah
1
1
2
2
2
2
III
Pengembangan emosional/artistik
7.   Pendidikan kesenian
2
2
4
4
4
4
IV
Pengembangan keprigelan
8.   Pendidikan keprigelan
2
2
4
4
4
4
V
Pengembangan jasmani
9.   Pendidikan jasmani/Kesehatan
3
3
4
4
4
4
Jumlah
25
26
36
36
36
36

3.        Pembaharuan Kurikulum 1968 Dan 1975
Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 lahir dengan pertimbangan politik ideologis. Tujuan pendidikan pada kurikulum 1964 yang bertujuan menciptakan masyarakat sosialis Indonesia diberangus, pendidikan pada masa ini lebih ditekankan untuk membentuk manusia pancasila sejati.
Kurikulum 1968 bersifat correlated subject curriculum, artinya materi pelajaran pada tingkat bawah mempunyai korelasi dengan kurikulum sekolah lanjutan. Bidang studi pada kurikum ini dikelompokkan pada tiga kelompok besar: pembinaan pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah mata pelajarannya 9, yang memuat hanya mata pelajaran pokok saja. Muatan materi pelajarannya sendiri hanya teoritis, tak lagi mengkaitkannya dengan permasalahan faktual di lingkungan sekitar. Metode pembelajaran sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pendidikan dan psikologi pada akhir tahun 1960-an. Salah satunya adalah teori psikologi unsur. Contoh penerapan metode pembelajarn ini adalah metode eja ketika pembelajaran membaca. Begitu juga pada mata pelajaran lain, “anak belajar melalui unsur-unsurnya dulu”.  Struktur kurikulum 1968 dapat dilihat pada tabel berikut ini:

No
Mata Pelajaran
Kelas
1
2
3
4
5
6
I
Pembinaan Jiwa Pancasila
1.   Pendidikan agama
2
2
3
4
4
4
2.   Pendidikan kewarganegaraan
2
2
4
4
4
4
3.   Bahasa Indonesia
-
-
6
6
6
6
4.   Bahasa Daerah
8
8
2
2
2
2
5.   Pendidikan olahraga
2
2
3
3
3
3
II
Pengembangan pengetahuan dasar
6.   Berhitung
7
7
7
6
6
6
7.   IPA
2
2
4
4
4
4
8.   Pendidikan kesenian
2
2
2
2
2
2
9.   Pendidikan kesejahteraan keluarga
1
1
2
2
2
2
III
Pembinaan kecakapan khusus
10.     Pendidikan kejuruan
2
2
5
5
5
5
Jumlah
28
28
40
40
40
40

Kurikulum 1975
Dibandingkan kurikulum sebelumnya, kurikulum ini lebih lengkap, jika dilihat dari pedoman yang dikembangkan dalam kurikulum tersebut.  Pada kurikulum SD 7 unsur pokok yang disajikan dalam 3 buku.  Tujuh unsur pokok tersebut adalah dasar, tujun, dan prinsip; struktur program kurikulum; GBPP; sistem penyajian; sistem penilaian; sistem bimbingan dan penyuluhan; pedoman supervisi dan administrasi.  Pembuatan buku pedoman, pada kurikulum selanjutnya tetap dipertahankan.
Pendekatan kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efesien, yang mempengaruhinya adalah konsep di bidang manajemen, yaitu MBO (Management by Objective). Melalui kurikulum 1968 tujuan pembelajaran setiap mata pelajaran yang terkandung pada kurikulum 1968 lebih dipertegas lagi. Metode, materi, dan tujuan pengajarannya tertuang secara gambalang dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Melalui PPSI kemudian lahir satuan pelajaran, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan bahsasb memiliki unsur-unsur: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar mengajar, dan evaluasi.
Kurikulum 1975 didasari konsep SAS (Structural, analysis, sintesis). Anak menjadi pintar karena paham dan mampu menganalisis sesuatu yang dihubungkan dengan mata pelajaran di sekolah. Kurikulum 1975 juga dimaksudkan untuk menyerap perkembangan ilmu era 1970-an. Selain memperkuat matematika, pelajaran teoritis IPA juga dipertajam. Jam pelajaran yang tadinya 41 jam per minggu, menjadi 43 jam. Pelajaran IPA menjadi gabungan dari Ilmu Hayat dan Ilmu Alam. Sisi positif kurikulum ini adalah, “ilmu-ilmu dasar yang diserap siswa SD pada masa itu menjadi semakin berkembang”. Akan tetapi dampak dari kurikulum 1975 adalah banyak guru menghabiskan waktunya untuk mengerjakan tugas administrasi, seperti membuat TIU, TIK, dan lain-lain; sedangkan substansi materi uang akan diajarkan kurang didalami.
Struktur program pada kurikulum 1975 di sekolah dasar adalah sebagai berikut:
No
Mata Pelajaran
Kelas
1
2
3
4
5
6
1.
Pendidikan agama
2
2
2
2
2
2
2.
Pendidikan Moral Pancasila
2
2
3
4
4
4
3.
B. Indonesia
8
8
8
8
8
8
4.
IPS
-
-
2
2
2
2
5.
Matematika
6
6
6
6
6
6
6.
IPA
2
2
3
4
4
4
7.
Olah raga dan kesehatan
2
2
3
3
3
3
8.
Kesenian
2
2
3
4
4
4
9.
Keterampilan khusus
2
2
4
4
4
4
JUMLAH
26
26
33
36
36
36

4.        Kurikulum Keterampilan Proses
Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach, yang senada dengan tuntukan GBHN 1983 bahwa pendidikan harus mampu mencetak tenaga terdidik yang kreatif, bermutu, dan efisien bekerja. Kurikulum 1984 tidak mengubah semua hal dalam, kurikulum 1974, meski mengutamakan proses tapi faktor tujuan tetap dianggap penting. Oleh karena itu kurikulum 1984 disebut kurikulum 1975 yang disempurnakan. Posisi Siswa dalam kurikulum 1984 diposisikan sebagai subyek belajar. Dari hal-hal yang bersifat mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan, menjadi bagian penting proses belajar mengajar, inilah yang disebut konsep Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
CBSA didasarkan pada disertasi Conny R. Semiawan, yang didasarkan pada pandangan Sikortsky, yang menelorkan Zone of Proximality Development. Teori yang mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai potensi dan potensi itu dapat teraktualisasi melalui ketuntasan belajar tertentu. Tetapi antara potensi dan aktualisasi terdapat daerah abu-abu (grey area), guru berkewajiban menjadikan daerah abu-abu ini dapat teraktualisasi. Caranya dengan belajar kelompok.
Dari sisi konten tidak banyak perubahan pada kurikulum ini, kecuali ditambahkannya pembelajaran PSPB.  Struktur kurikulum pada tingkat sekolah dasar dapat dilihat pada tabel berikut ini:
No
Mata Pelajaran
Kelas
1
2
3
4
5
6
1.
Pendidikan agama
2
2
2
2
3
3
2.
Pendidikan Moral Pancasila
2
2
2
2
2
2
3.
PSPB
1
1
1
1
1
1
4.
B. Indonesia
8
8
8
8
8
8
5.
IPS
-
-
2
3
2
2
6.
Matematika
6
6
6
6
6
6
7.
IPA
2
2
3
4
4
4
8.
Olah raga dan kesehatan
2
2
3
3
3
3
9.
Kesenian
2
2
3
4
4
4
10.
Keterampilan khusus
2
2
4
4
4
4
11.
B. Daerah
2
2
2
2
2
JUMLAH
26
26
33
36
36
36

Kurikulum 1994
Lahirnya UU No 2 tahun 1989 tentang pendidikan nasional, merupakan pemicu lahirnya kurikulum 1994.  Menurut UU tersebut, pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdasakan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manisia beriman dan bertakwa kepada tuhan yang mahaesa, berbudi luhur, memeliki keterampilan dan pengetahuan, kessehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.  Pada kurikulum 1994, pendidikan dasar dipatok menjadi sembilan tahun (SD dan SMP).  Berdasarkan struktur kulikulum, kurikulum 1994 berusaha menyatukan kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum 1975 dengan pendekatan tujuan dan kurikulum 1984 dengan tujuan pendekatan proses.  Pada kurikulum ini pun dimasukan muatan lokal, yang berfungsi mengembangkan kemampuan siswa yang dianggap perlu oleh daerahnya.  Pada kurikulum ini beban belajar siswa dinilai terlalu berat, karena ada muatan nasional dan lokal. Walaupun ada suplemen 1999 seiring dengan tuntutan reformasi, namun perubahan tidak total. Struktur kurikulum 1994 adalah sebagai berikut:
No
Mata Pelajaran
Kelas
1
2
3
4
5
6
1.
Pendidikan agama
2
2
2
2
2
2
2.
Pendidikan Moral Pancasila
2
2
2
2
2
2
3.
B. Indonesia
10
10
10
8
8
8
4.
IPS
-
-
3
5
5
5
5.
Matematika
10
10
10
8
8
8
6.
IPA
3
6
6
6
7.
Olah raga dan kesehatan
3
5
5
5
8.
Kerajinan tangan dan kesenian
2
2
2
2
2
2
9.
Muatan lokal
2
2
2
2
2
2
JUMLAH
30
30
38
40
42
42
     
5.        Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kurikulum 2004
Kurikulum 2004 lebih populer dengan sebutan KBK (kurikulum Berbasis Kompetensi). Lahir sebagai respon dari tuntutan reformasi, diantaranya UU No 2 1999 tentang pemerintahan daerah,  UU No 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, dam Tap MPR No IV/MPR/1999 tentang arah kebijakan pendidikan nasional.  KBK tidak lagi mempersoalkan proses belajar, proses pembelajaran dipandang merupakan wilayah otoritas guru, yang terpenting pada tingkatan tertentu peserta didik mencapai kompetensi yang diharapkan.  Kompetensi dimaknai sebagai perpaduan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir, dan bertindak.  Seseorang telah memiliki kompetensi dalam bidang tersebut yang tercermin dalam pola perilaku sehari-hari.
Kompetensi mengandung beberapa aspek, yaitu knowledge, understanding, skill, value, attitude, dan interest.  Dengan mengembangkan aspek-aspek ini diharapkan siswa memahami, mengusai, dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari materi-materi yang telah dipelajarinya.  Adapun kompentensi sendiri diklasifikasikan menjadi: kompetensi lulusan (dimilik setelah lulus), kompetensi standar (dimiliki setelah mempelajari satu mata pelajaran), kompetensi dasar (dimiliki setelah menyelesaikan satu topik/konsep), kompetensi akademik (pengetahuan dan keterampilan dalam menyelesaikan persoalan), kompetensi okupasional (kesiapan dan kemampuan beradaptasi dengan dunia kerja), kompetensi kultural (adaptasi terhadap lingkungan dan budaya masyarakat Indonesia), dan kompetensi temporal (memanfaatkan kemampuan dasar yang dimiliki siswa. KBK dinilai lebih unggul daripada kurikulum 1994, jika dilihat dari beberapa aspek berikut ini:
Beberapa keunggulan KBK dibandingkan kurikulum 1994 adalah:
1994
KBK
Yang dikedepankan
Penguasaan materi
Hasil dan kompetenasi
Paradigma pembelajaran
versi UNESCO: learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be
Silabus
Silabus ditentukan secara seragam
Peran serta guru dan siswa dalam proses pembelajaran, silabus menjadi kewenagan guru.
Jumlah jam pelajaran
40 jam per minggu
32 jam perminggu, tetapi jumlah mata pelajaran belum bissa dikurangi
Metode pembelajaran
Keterampilan proses
Lahir metode pembelajaran PAKEM dan CTL
Sistem penilaian
Lebih menitik beratkan pada aspek kognitif
Penilaian memadukan keseimbangan kognitif, psikomotorik, dan afektif, dengan penekanan penilaian berbasis kelas
KBK memiliki empat komponen, yaitu kurikulum dan hasil belajar (KHB), penilaian berbasis kelas (PBK), kegiatan belajar mengajar (KBM), dan pengelolaan kurikulum berbasis sekolah (PKBS).  KHB berisi tentang perencaan pengembangan kompetensi siswa yang perlu dicapai secara keseluruhan sejak lahir sampai usia 18 tahun.  PBK adalah melakukan penilaian secara seimbang di tiga ranah, dengan menggunakan instrumen tes dan non tes, yang berupa portofolio, produk, kinerja, dan pencil test. KBM diarahkan pada kegiatan aktif siswa dala membangun makna atau pemahaman, guru tidak bertindak sebagai satu-satunya sumber belajar, tetapi sebagai motivator yang dapat menciptakan suasana yang memungkinkan siswa dapat belajar secara penuh dan optimal.  PKBS memuat berbagai pola pemberdayaan tenaga kependidikan dan sumberdaya lain untuk meningkatkan mutu hasil belajar.  Struktur kurikulum KBK adalah sebagai berikut
No
Mata Pelajaran
Kelas
1
2
3
4
5
6
Matapelajaran
1.    Pendidikan agama
Tematik
3
2.    Pendidikan kewarganegaraan dan pengetahuan sosial
5
3.    Bahasa Indonesia
5
4.    Matematika
5
5.    IPA
4
6.    Kerajinan tangan dan kesenian
4
7.    Pendidikan jasmani
4
pembiasaan
8.    Kegiatan yang mendorong/mendukung pembiasaan
2
Mulok
9.    Mata pelajaran/kegiatan
Jumlah
27
32

6.        Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Ktsp 2006)
Kurikulum 2006 atau KTSP tidak mengubah KBK, bahkan sebagai penegas KBK (Jalal, 2006). Dibandingkan kurikulum 1994,  kurikulum KTSP lebih sederhana, karena ada pengurangan beban belajar sebanyak 20%, jam pelajaran yang dikurangi antara 100-200 jam per tahun, bahan ajar yang dianggap memberatkan siswa pun akan dikurangi, kurikulum ini lebih menekankan pada pengembangan kompetensi siswa dari pada apa yang harus dilakukan guru. Kurikulum 2006 adalah penyempurnaan dari KBK yang telah diuji coba kelayakannya secara publik, melalui beberapa sekolah yang menjadi pilot project.  Menurut Jalal (2006) KBK tidak resmi, hanya uji coba yang diterapkan di sekitar 3.000 sekolah se- Indonesia.
KTSP sendiri lahir sebagai respon dari UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, terutama pasal 36 ayat 1 dan 2.  KTSP bertujuan memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan.  Prinsip pengembangan KTSP adalah:
1.    Berpusat pada potensi, pengembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik, dan lingkungannya.
2.    Beragam dan terpadu
3.    Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
4.    Relevan dengan kebutuhan kehidupan
5.    Menyeluruh dan berkesinambungan
6.    Belajar sepanjang hayat
7.    Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Komponen dalam KTSP adalah:
1.    Tujuan pada pendidikan dasar: meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk  hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lanjut.
2.    Struktur dan muatan KTSP pada jenjang pendidikan dasar
No
Mata Pelajaran
Kelas
1
2
3
4
5
6
Matapelajaran
1.    Pendidikan agama
Tematik
3
2.    Pendidikan kewarganegaraan
2
3.    Bahasa Indonesia
5
4.    Matematika
5
5.    IPA
4
6.    IPS
3
7.    Kerajinan tangan dan kesenian
4
8.    Pendidikan jasmani
4
9.    Seni budaya dan keterampilan
4
Mulok
2
Pengembangan diri
2
Jumlah
26
27
28
32

3.    Kenaikan kelas dan kelulusan berdasarkan PP 19/2005 pasal 72 ayat 1, siswa dinyatakan lulus apabila: menyelesaikan seluruh program pembelajaran, memperoleh nilai minimal, lulus ujian sekolah, dan lulus ujian nasional.

Pengembangan Silabus
Pada KTSP menuntut satuan pendidikan untuk mengembangkan silabus.  Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompentensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan suber/alat/bahan belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.
Silabus dikembangkan dengan menekankan pada prinsip ilmiah, relevan, sistematis, konsisten, memadai, aktual dan kontekstual, fleksibel, dan menyeluruh.
Berdasarkan unit waktu:
1.    Silabus mata pelajaran disusun berdasarkan seluruh alokasi waktu yang disediakan untuk mata pelajaran selama penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan pendidikan.
2.    Penyusunan silabus memperhatikan alokasi waktu yang disediakan per semester, pertahun, dan alokasi waktu untuk mata pelajaran lain yang sekelompok.
3.    Implementasi per semester menggunakan penggalan silabus sesuai dengan standar kompetensi dasar untuk mata pelajaran dengan alokasi waktu yang tersedia pada struktur kurikulum.
Pengembangan silabus dilakukan oleh para guru secara mandiri, atau berkelompok dalam sebuah sekolah, atau beberapa sekolah, kelompok MGMP atau PKG, dan dinas pendidikan. Adapun langkah-langkah pengembangan silabus adalah sebagai berikut:
1.    Mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar seperti yang ada pada standar isi
2.    Mengidentifikasi materi pokok/pembelajaran yang menunjang potensi peserta didik, relevansi dengan karakteristik daerah, tingkat perkembangan, kebermanfaatan, struktur ilmu, dan lain-lain.
3.    Mengemban kegiatan pembelajaran untuk memberikan pengalaman belajar yang sesuai dengan pencapaian kompetensi.  Kegiatan pembelajaran menekankan pada proses pengembangan mental dan fisik melalui interaksi antara semua yang terlibat, baik siswa, guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya.
4.    Merumuskan indikator pencapaian kompetensi sebagai penanda pencapaian kompetensi dasar yang ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
5.    Penentuan jenis penilaian berdasarkan indikator baik dalam bentuk tes maupun non tes, tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap penilaian hasil karya, dan lain-lain.
6.    Penentuan alokasi waktu pada setiap kompentensi dasar yang didasarkan pada jumlah minggu efektif dan alokasi waktu mata pelajaran perminggu.
7.    Memanfaatkan sumber belajar sebagai rujukan baik berupa cetak, elektronik, narasumber, lingkungan fisik, a;am, sosial, dan budaya.
Dari uraian di atas, contoh format silabus adalah sebagai berikut:
SILABUS
NAMA SEKOLAH:
MATA PELAJARAN:
KELAS/SEMESTER:
STANDAR KOMPETENSI (LIHAT STANDAR ISI)
KOMPETENSI DASAR (LIHAT STANDAR ISI)
ALOKASI WAKTU:
Materi pokok pembelajaran
Kegiatan pembelajaran
Indikator
Penilaian
Alokasi waktu
Sumber Belajar

Untuk memperjelas pemahaman tentang kurikulum, kita perlu mengetahui, apa toh yang dimaksud dengan kurikulum? Apa pula KTSP?
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Sedang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan (sekolah).
Komponen KTSP terdiri dari:
1. Visi, Misi, dan Tujuan Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan
2. Struktur dan Muatan KTSP
3. Kalender Pendidikan
4. Silabus
5. RPP
Visi dan Misi, sudah ada dan dimiliki oleh setiap satuan pendidikan. Sedang Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Pengembangan KTSP didasarkan pada PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP (Standar Nasional Pendidikan) pasal 17, yang menyebutkan bahwa : 1) Kurikulum tingkat satuan pendidikan dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat, dan karakteristik peserta didik, 2) Sekolah dan komite sekolah/madrasah mengembangkan kurikulum satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan serta berpedoman pada panduan yg disusun oleh BSNP
Dengan demikian kurikulum yang biasanya sudah berupa ‘buku paket’ seragam yang dibuat oleh pemerintah pusat, tidak ada lagi. Yang ada adalah Kurikulum SMP atau SMA Anu. Masing-masing satuan pendidikan (sebut: sekolah), membuat kurikulum sendiri dan dilaksanakan sendiri. Pemerintah pusat hanya memberikan acuan operasional penyusunannya.
Acuan Operasional penyusunan KTSP adalah sebagai berikut :
1.         Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia
2.         Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik
3.         Keragaman potensi dan karakter daerah dan lingkungan
4.         Tuntutan pembangunan daerah dan nasional
5.         Tuntutan dunia kerja

7.        Kurikulum 2013
Secara falsafati, pendidikan adalah proses panjang dan berkelanjutan untuk mentransformasikan peserta didik menjadi manusia yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu bermanfaat bagi dirinya, bagi sesama, bagi alam semesta, beserta segenap isi dan peradabannya.
Dalam UU Sisdiknas, menjadi bermanfaat itu dirumuskan dalam indikator strategis, seperti beriman-bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam memenuhi kebutuhan kompetensi Abad 21, UU Sisdiknas juga memberikan arahan yang jelas, bahwa tujuan pendidikan harus dicapai salah satunya melalui penerapan kurikulum berbasis kompetensi. Kompetensi lulusan program pendidikan harus mencakup tiga kompetensi, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan, sehingga yang dihasilkan adalah manusia seutuhnya. Dengan demikian, tujuan pendidikan nasional perlu dijabarkan menjadi himpunan kompetensi dalam tiga ranah kompetensi (sikap, pengetahuan, dan keterampilan). Di dalamnya terdapat sejumlah kompetensi yang harus dimiliki seseorang agar dapat menjadi orang beriman dan bertakwa, berilmu, dan seterusnya.
Mengingat pendidikan idealnya proses sepanjang hayat, maka lulusan atau keluaran dari suatu proses pendidikan tertentu harus dipastikan memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikannya secara mandiri sehingga esensi tujuan pendidikan dapat dicapai. 

Perencanaan Pembelajaran
Dalam usaha menciptakan sistem perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang baik, proses panjang tersebut dibagi menjadi beberapa jenjang, berdasarkan perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Setiap jenjang dirancang memiliki proses sesuai perkembangan dan kebutuhan peserta didik sehingga ketidakseimbangan antara input yang diberikan dan kapasitas pemrosesan dapat diminimalkan.
Sebagai konsekuensi dari penjenjangan ini, tujuan pendidikan harus dibagi-bagi menjadi tujuan antara. Pada dasarnya kurikulum merupakan perencanaan pembelajaran yang dirancang berdasarkan tujuan antara di atas. Proses perancangannya diawali dengan menentukan kompetensi lulusan (standar kompetensi lulusan). Hasilnya, kurikulum jenjang satuan pendidikan.
Dalam teori manajemen, sebagai sistem perencanaan pembelajaran yang baik, kurikulum harus mencakup empat hal. Pertama, hasil akhir pendidikan yang harus dicapai peserta didik (keluaran), dan dirumuskan sebagai kompetensi lulusan. Kedua, kandungan materi yang harus diajarkan kepada, dan dipelajari oleh peserta didik (masukan/standar isi), dalam usaha membentuk kompetensi lulusan yang diinginkan. Ketiga, pelaksanaan pembelajaran (proses, termasuk metodologi pembelajaran sebagai bagian dari standar proses), supaya ketiga kompetensi yang diinginkan terbentuk pada diri peserta didik. Keempat, penilaian kesesuaian proses dan ketercapaian tujuan pembelajaran sedini mungkin untuk memastikan bahwa masukan, proses, dan keluaran tersebut sesuai dengan rencana.
Dengan konsep kurikulum berbasis kompetensi, tak tepat jika ada yang menyampaikan bahwa pemerintah salah sasaran saat merencanakan perubahan kurikulum, karena yang perlu diperbaiki sebenarnya metodologi pembelajaran bukan kurikulum. (Mohammad Abduhzen, “Urgensi Kurikulum 2013”, Kompas, 21/2 dan “Implementasi Pendidikan”, Kompas, 6/3). Hal ini menunjukkan belum dipahaminya secara utuh bahwa kurikulum berbasis kompetensi termasuk mencakup metodologi pembelajaran. 
Tanpa metodologi pembelajaran yang sesuai, tak akan terbentuk kompetensi yang diharapkan. Sebagai contoh, dalam Kurikulum 2013, kompetensi lulusan dalam ranah keterampilan untuk SD dirumuskan sebagai “memiliki (melalui mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji,  menalar, mencipta) kemampuan pikir dan tindak yang produktif  dan kreatif, dalam ranah konkret dan  abstrak, sesuai dengan yang  ditugaskan kepadanya.”
Kompetensi semacam ini tak akan tercapai bila pengertian kurikulum diartikan sempit, tak termasuk metodologi pembelajaran. Proses pembentukan kompetensi itu, sudah dirumuskan dengan baik melalui kajian para peneliti, dan akhirnya diterima luas sebagai suatu taksonomi.
Pemikiran pengembangan Kurikulum 2013 seperti diuraikan di atas dikembangkan atas dasar taksonomi-taksonomi yang diterima secara luas, kajian KBK 2004 dan KTSP 2006, dan tantangan Abad 21 serta penyiapan Generasi 2045. Dengan demikian, tidaklah tepat apa yang disampaikan Elin Driana, “Gawat Darurat Pendidikan” (Kompas, 14/12/2012) yang mengharapkan sebelum Kurikulum 2013 disahkan, baiknya dilakukan evaluasi terhadap kurikulum sebelumnya.
Mengatakan tidak ada masalah dengan kurikulum saat ini adalah kurang tepat. Sebagai contoh, hasil pembandingan antara materi TIMSS 2011 dan materi kurikulum saat ini, untuk mata pelajaran Matematika dan IPA, menunjukkan, kurang dari 70 persen materi TIMSS yang telah diajarkan sampai dengan kelas VIII SMP.
Belum lagi rumusan kompetensi yang belum sesuai dengan tuntutan UU dan praktik terbaik di dunia, ketidaksesuaian materi matapelajaran dan tumpang tindih yang tidak diperlukan pada beberapa materi matapelajaran, kecepatan pembelajaran yang tidak selaras antarmata pelajaran, dangkalnya materi, proses, dan penilaian pembelajaran, sehingga peserta didik kurang dilatih bernalar dan berfikir. 

Kompetensi Inti
Kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan pun masih memerlukan rencana pendidikan yang panjang untuk pencapaiannya. Sekali lagi, teori manajemen mengajarkan, untuk memudahkan proses perencanaan dan pengendaliannya, pencapaian jangka panjang perlu dibagi-bagi jadi beberapa tahap sesuai dengan jenjang kelas di mana kurikulum tersebut diterapkan.
Sejalan dengan UU, kompetensi inti ibarat anak tangga yang harus ditapak peserta didik untuk sampai pada kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan. Kompetensi inti meningkat seiring meningkatnya usia peserta didik yang dinyatakan dengan meningkatnya kelas.
Melalui kompetensi inti, sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan, integrasi vertikal antarkompetensi dasar dapat dijamin, dan peningkatan kemampuan peserta dari kelas ke kelas dapat direncanakan. Sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan multidimensi, kompetensi inti juga memiliki multidimensi. Untuk kemudahan operasionalnya, kompetensi lulusan pada ranah sikap dipecah menjadi dua, yaitu sikap spiritual terkait tujuan membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan kompetensi sikap sosial terkait tujuan membentuk peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. 
Kompetensi inti bukan untuk diajarkan, melainkan untuk dibentuk melalui pembelajaran mata pelajaran-mata pelajaran yang relevan. Setiap mata pelajaran harus tunduk pada kompetensi inti yang telah dirumuskan. Dengan kata lain, semua mata pelajaran yang diajarkan dan dipelajari pada kelas tersebut harus berkontribusi terhadap pembentukan kompetensi inti. 
Ibaratnya, kompetensi inti merupakan pengikat kompetensi-kompetensi yang harus dihasilkan dengan mempelajari setiap mata pelajaran. Di sini kompetensi inti berperan sebagai integrator horizontal antarmata pelajaran.
Dengan pengertian ini, kompetensi inti adalah bebas dari mata pelajaran karena tidak mewakili mata pelajaran tertentu. Kompetensi inti merupakan kebutuhan kompetensi peserta didik, sedangkan mata pelajaran adalah pasokan kompetensi dasar yang akan diserap peserta didik melalui proses pembelajaran yang tepat, menjadi kompetensi inti. Bila pengertian kompetensi inti telah dipahami dengan baik, tentunya tidak akan ada kritikan bahwa Kurikulum 2013 adalah salah dengan alasan pada “Kompetensi Inti Bahasa Indonesia” tidak terdapat kompetensi yang mencerminkan kompetensi Bahasa Indonesia, karena memang tidak ada yang namanya kompetensi inti Bahasa Indonesia, sebagaimana yang dipertanyakan Acep Iwan Saidi, “Petisi untuk Wapres” (Kompas, 2/3).
Dalam mendukung kompetensi inti, capaian pembelajaran mata pelajaran diuraikan menjadi kompetensi dasar-kompetensi dasar yang dikelompokkan menjadi empat. Ini  sesuai dengan rumusan kompetensi inti yang didukungnya, yaitu dalam kelompok kompetensi sikap spiritual, kompetensi sikap sosial, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan.
Uraian kompetensi dasar sedetil ini adalah untuk memastikan bahwa capaian pembelajaran tidak berhenti sampai pengetahuan saja, melainkan harus berlanjut ke keterampilan, dan bermuara pada sikap. 
Kompetensi dasar dalam kelompok kompetensi inti sikap bukanlah untuk peserta didik, karena kompetensi ini tidak diajarkan, tidak dihafalkan, tidak diujikan, tapi sebagai pegangan bagi pendidik, bahwa dalam mengajarkan mata pelajaran tersebut, ada pesan-pesan sosial dan spiritual yang terkandung dalam materinya. Apabila konsep pembentukan kompetensi ini dipahami, dapat mengurangi bahkan menghilangkan kegelisahan yang disampaikan L. Wiliardjo dalam “Yang Indah dan yang Absurd” (Kompas,  22/2)

Kedudukan Bahasa
Uraian rumusan kompetensi seperti itu masih belum cukup untuk dapat digunakan, terutama saat merancang kurikulum SD (jenjang sekolah paling rendah), tempat dimana peserta didik mulai diperkenalkan banyak kompetensi untuk dikuasai. Pada saat memulainya pun, peserta didik SD masih belum terlatih berfikir abstrak. Dalam kondisi seperti inilah, maka terlebih dahulu perlu dibentuk suatu saluran yang menghubungkan sumber-sumber kompetensi, yang sebagian besarnya abstrak, kepada peserta didik yang masih mulai belajar berfikir abstrak.
Di sini peran bahasa menjadi dominan, yaitu sebagai saluran mengantarkan kandungan materi dari semua sumber kompetensi kepada peserta didik.
Usaha membentuk saluran sempurna (perfect channels dalam teknologi komunikasi) dapat dilakukan dengan menempatkan bahasa sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaran lain. Dengan kata lain, kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai konteks dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Melalui pembelajaran tematik integratif dan perumusan kompetensi inti, sebagai pengikat semua kompetensi dasar, pemaduan ini akan dapat dengan mudah direalisasikan. 
Dengan cara ini pula, maka pembelajaran Bahasa Indonesia dapat dibuat menjadi kontekstual, sesuatu yang hilang pada model pembelajaran Bahasa Indonesia saat ini, sehingga pembelajaran Bahasa Indonesia kurang diminati oleh pendidik maupun peserta didik. 
Melalui pembelajaran Bahasa Indonesia yang kontekstual, peserta didik sekaligus dilatih menyajikan bermacam kompetensi dasar secara logis dan sistematis. Mengatakan kompetensi dasar Bahasa Indonesia SD, yang memuat penyusunan teks untuk menjelaskan pemahaman peserta didik, terhadap ilmu pengetahuan alam sebagai mengada-ada (Acep Iwan Saidi, “Petisi untuk Wapres”), sama saja dengan melupakan fungsi bahasa sebagai pembawa kandungan ilmu pengetahuan. 
Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi yang pernah digagas dalam Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, tapi belum terselesaikan karena desakan untuk segera mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Rumusannya berdasarkan pada sudut pandang yang berbeda dengan kurikulum berbasis materi, sehingga sangat dimungkinkan terjadi perbedaan persepsi tentang bagaimana kurikulum seharusnya dirancang. Perbedaan ini menyebabkan munculnya berbagai kritik dari yang terbiasa menggunakan kurikulum berbasis materi. Untuk itu ada baiknya memahami lebih dahulu terhadap konstruksi kompetensi dalam kurikulum sesuai koridor yang telah digariskan UU Sisdiknas, sebelum mengkritik.
Dan berikut ini adalah beberapa hal yang baru yang terdapat pada kurikulum 2013 mendatang diantaranya sebagai berikut:
SD – MI (Sekolah Dasar Madrasah Ibtidaiyah)
  1. Kurikulum 2013 berbasis pada sains.
  2. Kurikulum 2013 untuk SD, bersifat tematik integratif.
  3. Kompetensi yang ingin dicapai adalah kompetensi yang berimbang antara sikap, keterampilan, dan pengetahuan, disamping cara pembelajarannya yang holistik dan menyenangkan.
  4. Proses pembelajaran menekankan aspek kognitif, afektif, psikomotorik melalui penilaian berbasis tes dan portofolio saling melengkapi.
  5. Mata pelajara (MAPEL) SD diantaranya:
·       Pendidikan Agama
·       PPKn
·       Bahasa Indonesia
·       Matematika
·       IPA
·       IPS
·       Seni Budaya dan Prakarya (Muatan Lokal; Mulok)
·       Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (Muatan Lokal;Mulok)
  1. Alokasi waktu per jam pelajaran SD 35 menit
  2. Banyak jam pelajaran per minggu Kelas I = 30 jam, kelas II= 32 jam, kelas III=34 jam, kelas IV, V,VI=36 jam
SMP – MTs (Sekolah Menengah Pertama – Madrasah Tsanawiyah)
a.    Mata pelajaran SMP MTs kurikulum 2013 sebagai berikut:
·       Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
·       PPKn
·       Bahasa Indonesia
·       Matematika
·       IPA
·       IPS
·       Bahasa Inggris
·       Seni Budaya (Muatan Lokal)
·       Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (Muatan Lokal)
·       Prakarya (Muatan Lokal)
b.    Alokasi waktu per jam pelajaran SMP = 40 menit
c.    Banyak jam pelajaran per minggu 38 jam

SMA – MA (Sekolah Menengah Atas – Madrasah Aliyah)
a.     Mata pelajaran SMA – MA kurikulum 2013 sebagai berikut:
·       Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
·       PPKn
·       Bahasa Indonesia
·       Matematika
·       Sejarah Indonesia
·       Bahasa Inggris
·       Seni Budaya (Muatan Lokal)
·       Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (Muatan Lokal)
·       Prakarya dan Kewirausahaan (Muatan Lokal)
·       Alokasi waktu per jam pelajaran SMA = 45 menit
·       Banyak jam pelajaran per minggu SMA = 39 jam

Sumber https://www.muttaqin.id/

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel