Peranan Endosperm Terhadap Pertumbuhan Kecambah
Monday, August 20, 2012
Biji yang neniliki endosperm merupakan organ yang berasal dari pembuahan ganda. Hasil dari pembuahan ganda tersebut berupa embrio yang berasal dari perkembangan zigot serta adanya endosperm yang berfungsi sebagai nutrisi yang diperlukan oleh embrio selama masa pertumbuhan dan perkembangan. Endosperm berkembang dari sel triploid yang aktif membelah membentuk multinukleat (supercell) seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 1 yang menggunakan biji jagung sebagai sampel (Campbell et al., 2009).
Gambar 1. Struktur biji jagung (Campbell et al., 2009).
Endosperm sendiri berasal dari inti kandung lembaga sel (central cell) yang dibuahi oleh gamet jantan. Endosperm beserta embrio dibungkus oleh integumen yang secara keseluruhan membentuk struktur biji. Perkembangan endosperm sangat menentukan proses perkecambahan karena endosperm merupakan cadangan makanan yang dibutuhkan selama proses perkecambahan (Berger, 2003).
Kandungan endosperm pada umumnya adalah berupa homopolimer D-glukosa yang terdiri dari amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan polimer linear yang memiliki cabang glukan dengan ikatan glikosida pada posisi α-1,6. Pada endosperm jagung terdapat amilopektin yang memiliki ikatan A dan ikatan B1. Proses pembentukan amilopektin dikatalisis oleh ADP glucose pyrophosphorylase (AGPase) yang merupakan produk dari gen shrunken2 dan brittle2 (Jeon et al., 2010).
Dalam perkembangannya, biji akan mengalami proses perkecambahan. Perkecambahan merupakan proses perubahan embrio menjadi tahapan yang lebih kompleks yang menyangkut perubahan morfologi, fisiologi, dan kimiawi (Starr & Taggart, 2009). Proses perkecambahan diawali dengan proses imbibisi yang kemudian dimulai dengan munculnya bagian radikula. Proses tersebut melibatkan mekanisme yang kompleks baik dari internal maupun eksternal. Dalam proses perkecambahan terdapat tiga fase yakni fase I, II, dan III (Gambar 2). Fase I merupakan tahapan awal yakni ditandai dengan proses imbibisi pada biji, kemudian fase II masih terjadi proses penterapan air dan sejumlah aktivitas selular, enzimatis, dan reaksi-reaksi kimiawi terjadi peningkatan mulai dari persiapan perkecambahan hingga proses pertumbuhan dan perkembangan pada kecambah yang ditandai dengan munculnya radikula. Pada fase terakhir yakni fase III merupakan pasca perkecambahan (post-germination) merupakan fase dimulainya kehidupan tanaman baru (Nonogaki et al., 2010).
Gambar 2. Fase-fase perkecambahan (Nonogaki et al., 2010).
Pada proses perkecambahan biji jagung, maka radikula akan keluar terlebih dahulu kemudian diikuti oleh pertumbuhan plumula (Gambar 3). Proses perkecambahan tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai hal seperti kadar air, cahaya, temperatur, oksigen, dan salinitas (Campbell et al., 2009; Martínez et al., 1992).
Gambar 3. Struktur kecambah jagung (Campbell et al., 2009).
Selain itu, proses perkecambahan juga dapat diinisiasi dengan skarifikasi. Skarifikasi adalah salah satu mekanisme dormansi pada biji tanaman agar biji cepat mengalami perkecambahan. Skarifikasi dapat dilakuan dengan berbagai cara seperti dengan perlakuan fisis, mekanis, maupun kimiawi (Bewley et al., 2006).
Adapun faktor yang dapat menjadi inhibitor dalam proses perkecambahan seperti tidak tersedianya air, temperatur yang rendah, dan adanya glukosa atau sukrosa. Glukosa dan sukrosa dapat bertindak sebagai sinyal molekul yang mengontrol ekspresi gen dan proses perkembangan dalam perkecambahan (Sheen et al., 1999). Menurut Gibson (2005), pada proses perkecambahan, gula dapat menghambat laju perkecambahan pada tanaman Arabidopsis. Sementara pada proses perkembangan biji, konsentrasi sukrosa maupun glukosa yang tinggi dapat menghambat ekspansi kotiledon, formasi daun, dan pertumbuhan akar pada tanaman Arabidopsis.
Adapun mekasnisme molekular dari signaling molekul gula diperantarai oleh Hexokinase1 (HxK1) yang mana akan berinteraksi dengan hormon auksin (IAA), sitokinin, ABA, dan etilen dalam mekanisme transduksi sinyalnya (Gambar 4). Dalam proses perkecambahan, kadar glukosa mampu menginduksi ABA melalui produksi etilen yang pada akhirnya dapat menghambat proses perkecambahan (Gazzarrini & McCourt, 2001; Gibson, 2005).
Gambar 4. Mekanisme pengaruh gula terhadap proses perkecambahan
(Gazzarrini & McCourt, 2001).
Sumber https://www.generasibiologi.com/