KAJIAN BIOETIKA REKAYASA GENETIKA TANAMAN
Thursday, August 30, 2012
(pic via: irishnewsreview) |
Ilmu pengetahuan dalam bidang rekayasa genetika tanaman mengalami perkembangan yang luar biasa. Perkembangannya diharapkan mampu memberikan solusi atas berbagai permasalahan baik dari segi sandang, pangan, dan papan yang secara konvensional tidak mampu memberikan konstribusi yang maksimal. Adanya produk hasil rekayasa tanaman memiliki tujuan untuk mengatasi kelaparan, defisiensi nutrisi, peningkatan produktivitas tanaman, ketahanan terhadap cekaman lingkungan yang ekstrem, dan lain-lain (Amin et al., 2011a). Perkembangan dari rekayasa genetika tersebut diikuti dengan berbagai macam isu permasalahan seperti sosial, ekonomi, lingkungan, kesehatan, politik, agama, etika dan legalitas suatu produk rekayasa genetika. Permasalahan-permasalahan tersebut terangkum dalam sebuah kajian yang dinamakan bioetika (Pottage, 2007; Evans&Michael, 2008). Perma-salahan bioetika rekayasa genetika selalu dikaitkan oleh berbagai macam kekhawatiran tentang produk hasil rekayasa genetika. Kekhawatiran tersebut mendorong munculnya berbagai macam kontroversial di kalangan masyarakat. Dari hal inilah muncul berbagai macam pro dan kontra mengenai produk rekayasa genetika. Adanya berbagai polemik tersebut mendasari terbentuknya berbagai macam peraturan atau protokol yang mengatur berbagai macam aktivitas di bidang rekayasa genetika (Dano, 2007).
Pemanfaatan Rekayasa Genetika Tanaman
Tanaman transgenik memiliki potensi yang mampu mengubah dunia agrikultural. Hal ini dikarenakan tanaman transgenik mampu meningkatkan hasil produktivitas serta mampu menekan biaya dann mengurangi ketergantungan bahan kimia yang mampu mencemari lingkungan (Bhumiratana & Kongsawat, 2008). Pemanfaatan tanaman transgenik mampu meningkatkan produksi tanaman di lebih dari 15 negara serta hampir 80 juta hektar pada tahun 2004 dalam skala global dipakai untuk memproduksi tanaman transgenik seperti kedelai, jagung, kanola dan kapas (Watanabe, 2005). Pada tahun 2009, terjadi peningkatan menjadi 29 negara yang menggunakan tanaman transgenik. Hal ini dikarenakan tanaman transgenik mampu meningkatkan hasil produksi serta mampu memberikan income skala global, mampu mereduksi emisi karbon, serta mampu meminimalisir penggunaan pestisida (Adams, 2011).
Tanaman transgenik yang telah diaplikasikan memiliki sejumlah potensi antara lain menghasilkan tanaman yang toleran terhadap herbisida, serangga/hama, kekeringan, banjir, panas, dan kadar garam. Tanaman-tanaman tersebut telah dimodifikasi secara genetik untuk mampu mentoleransi kondisi lingkungannya. Sebagai contoh tanaman kapas yang mampu menghasilkan toksin serangga yang telah disisipi gen dari Bacillus thuringensis (Bt). Di india, tamanan kapas transgenik tersebut secara ekonomi mampu meningkatkan hasil produksi sebesar 39% serta meningkatkan profit sebesar 71% per hektar dan dampak positif terhadap lingkungan adalah mampu mengurangi penggunaan pestisida sebesar 33% pada tahun 2007. Sementara di China mampu menghasilkan tanaman padi transgenik yang juga disisipi gen penghasil toksin serangga dari Bt dan sebagai hasilnya negara tersebut mampu mereduksi penggunaan 17 kg pestisida per hektar. Dan dalam skala global, penggunaan pestisida mengalami penurunan sebesar 389 juta kg semenjak tahun 1996 (Adams, 2011; Velkov et al., 2005).
Pengertian Bioetika
Etika adalah kajian yang membahas mengenai sudut pandang moral yang mengatur suatu perilaku yang sesuai dengan keadaan bagi perorangan maupun kelompok. Secara sederhana, etika dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan perilaku, norma, atau perspektif yang membedakan antara baik dan buruk yang dapat diterima oleh suatu kelompok sosial. Sementara pengertian bioetika sendiri merupakan kajian etika yang berada pada level kajian biologi dan medis. Dalam pertanian, Bioetika dipandang sebagai penerapan yang lebih luas mengenai bioetika yang mencakup suatu penialaian etika terhadap semua tindakan yang bisa membantu atau membahayakan suatu organisme. (Fossey, 2007).
Dalam membahas bioetika, terdapat empat prinsip fundamental yang dirintis oleh Maulana Jalaluddin Rumi pada abad 13 yang meliputi:
- Beneficence, yakni memberikan prioritas yang bermanfaat bagi kesejahteraan manusia serta mengacu pada perilaku yang baik.
- Non-maleficence, menghindari perilaku yang dapat merugikan orang lain.
- Autonomy, menghormati hak-hak pribadi orang lain
- Justice, memberikan perilaku yang adil serta kesetaraan bagi manusia. (Aksoy&Tenik, 2002; Fossey, 2007).
Kebijakan Regulasi Tanaman Transgenik
Kebijakan publik pada pengembangan dan penggunaan organisme yang dimodifikasi secara genetik (Genetically Modified Organism–GMO) selalu berkaitan dengan manajemen risiko yang akan ditimbulkan. Sehingga diperlukan suatu regulasi yang mengatur suatu produk transgenik. Regulasi yang dikaji berupa Regulation and Risk Assessment, yang merupakan peraturan mengenai peluncuran, pengembangan, dan produksi komersial dari GMO yang berkaitan dengan risiko lingkungan dan kesehatan; dan ‘‘The Natural’’ and Crossing Species Borders, yang merupakan pengaturan mengenai klaim “tidak alami” akibat penyebaran GMO yang dikhawatirkan akan mengganngu biodiversitas (Myskja, 2006).
Adapun regulasi skala global telah yang disepakati adalah Cartagena Protocol on Biosafety yang didasarkan pada asas precationary yang terdiri dari 40 artikel dan 3 annex (Cartagena Protocol, 2000). Protokol tersebut memiliki tujuan untuk memberikan konstribusi dan memastikan keamanan di lingkungan serta menangani dan memberikan sarana bagi organisme transgenik agar tidak merugikan keanekaragaman hayati dengan mempertimbangkan juga pula resikonya terhadap kesehatan manusia. Protokol tersebut juga berlaku bagi perpindahan lintas batas, persinggahan, penanganan dan penggunaan semua organisme hasil modifikasi yang mungkin memiliki efek buruk pada konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati, dengan mempertimbangkan pula risiko terhadap kesehatan manusia.
Selain protokol Cartagena, regulasi regional juga diberlakukan seperti yang dilakukan di negara Denmark pada tahun 2004 yang mengatur beberapa regulasi, yakni: sistem perizinan dalam menumbuhkan tanaman transgenik; isolasi jarak yang secara saintifik telah dievaluasi dan disetujui; dan tanggung jawab terhadap kerusakan yang mungkin muncul akibat hibridisasi/ pencampuran tanaman transgenik dengan non-transgenik.
Dalam skala nasional, sudah dibentuk undang-undang yang berkaitan dengan transgenik yang tertuang dalam UU No. 18/2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan IPTEK (RPP Peneltian Berisiko Tinggi). Disebutkan pada pasal 22 yang berbunyi:
1) Pemerintah menjamin kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara serta keseimbangan tata kehidupan manusia dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup. 2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah mengatur perizinan bagi pelaksanaan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berisiko tinggi dan berbahaya dengan memperhatikan standar nasional dan ketentuan yang berlaku secara internasional.
Kajian Dampak Sosial - Ekonomi Transgenik
Menurut Dano (2007), kajian mengenai dampak sosial-ekonomi transgenik memiliki keterkaitan dengan sejumlah alasan/nilai-nilai penting, antara lain tanggung jawab sosial: para ilmuwan yang mengembangkan transgenik harus memperkenalkan ke masyarakat serta diperhatikan pula tanggung jawab moral dan etika akan dampak-dampak yang ditimbulkan dari produk transgenik, termasuk potensi dampak sosial-ekonominya; tanggung jawab antar generasi: tujuan dari adanya teknologi harus memiliki sifat pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, tujuan ini terkait dengan tanggung jawab antar generasi dari para pengembang teknologi tersebut dan para pembuatan kebijakan pemerintah. Mengkaji dampak sosial-ekonomi transgenik tidak hanya akan menjamin bahwa dampak akan tersebut bisa dihilangkan atau setidaknya dampaknya diminimalkan, tetapi tetap dapat melindungi kepentingan dan kebutuhan generasi masa sekarang dan masa depan karena dampak sosial-ekonomi teknologi akan dirasakan dari generasi ke generasi; penerimaan masyarakat: dengan memberikan pertimbangan yang serius akan potensi dampak sosial-ekonomi transgenik, para pengembang dan pembuat kebijakan akan memiliki kepekaan lebih baik atas penerimaan masyarakat akan teknologi dan produk-produknya; mengurangi biaya jangka panjang: keprihatinan utama dalam pengkajian sosial-ekonomi transgenik adalah biaya yang terkait proses-proses dari luasnya partisipasi para pihak, pelaku, serta kurun waktu yang diperlukan untuk melalui proses-proses tersebut. Hal ini mungkin bisa menjadi keprihatinan yang benar dalam jangka pendek, namun mengabaikan kemungkinan biaya jangka panjang dari sebuah teknologi terhadap masyarakat yang muncul dari dampak merusak yang potensial. Oleh karena itu, dengan memasukkan pertimbangan sosial-ekonomi dalam pembuatan keputusan tentang transgenik, maka biaya sosial, ekonomi, dan budaya yang tidak dapat ditarik kembali kemungkinan dapat dihapus atau diminimalkan dampaknya. Kajian dampak sosial-ekonomi tersebut juga sangat bergantung kepada kondisi suatu negara perkembangan negara.
Pertimbangan Etika dan Agama
Berbagai pertimbangan etika yang menyangkut agama dalam konteks sains sering menjadi topik yang sering dibahas. Menurut Evans & Michael (2008), studi tentang hubungan antara agama dan sains secara tradisional diasumsikan bahwa setiap konflik yang terjadi semat-mata didasarkan pada epistemologi dari esensi agama itu sendiri. Oleh karena itu, pertimbangan setiap agama terhadap tanaman transgenik memiliki kebijakan sendiri. Namun hal tersebut juga dipengaruhi oleh kebijkan suatu negara serta pola pikir suatu masyarakat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Amin et al (2011b) di Malaysia dengan responden berbagai agama serta ras, mereka mampu menerima dan mengiterpretasikan antara agama dengan tanaman transgenik berupa yang padi yang telah disisipi gen penghasil vitamin C. Tentu saja masih banyak kajian yang perlu dilakukan untuk membahas hubungan etika dan agama dengan tanaman transgenik yang lain.
Sementara itu, pertimbangan etika dan agama dapat dikaji menjadi dua, yakni intrinsic objections yang mengkaji dampak transgenik terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, dikhawatirkan akan merugikan petani kecil, adanya isu bahwa tanaman transgenik akan dijadikan ladang bisnis ilmu pengetahuan, dan tanaman transgenik dapat mengancam biodiversitas. Kajian berikutnya adalah extrinsic objections yang mengkaji bahwa tanaman transgenik bersifat "unnatural" dikarenakan adanya campur tangan alam atau permainan Tuhan, bisa mengubah dunia melalui tekhnologi baru, membatasi persilangan spesies secara alami, adanya reproduksi nonseksual, dapat mengganggu integritas, kecantikan, dan keseimbangan alam, serta dapat mengganggu ketenangan makhluk.
Sumber https://www.generasibiologi.com/